Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kita Tidak Lagi Menyebut Allah Dalam Literatur dan Narasi Sains

24 Maret 2024   02:55 Diperbarui: 29 Maret 2024   06:36 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sains dan Teknologi dalam Kesadaran Spiritual

Kesulitan kita selama sekian dekade menciptakan komputer kuantum seharusnya membuat kita sadar bahwa transformasi dari informasi kuantum menjadi informasi deterministik tidak terjadi secara serta merta begitu saja. Mengarahkan sistem probabilistik kepada sistem deterministik membutuhkan suatu kecerdasan yang lebih besar daripada kecerdasan yang dihasilkannya. Membuat entitas yang mampu bekerja secara paripurna dengan segala kelebihan kemampuannya yang hampir sempurna butuh kerja-kerja kolosal untuk menghasilkannya.

Hal yang sama juga berlaku pada reaktor fusi nuklir yang hampir satu abad belum juga matang yang mana ini seharusnya membawa kesadaran bahwa transformasi energi pun tidak terjadi begitu saja. Reaksi fisika dan kimia yang tampaknya sangat sederhana ternyata membutuhkan effort yang luar biasa untuk menjadi teknologi yang nyata dan memberikan utilitas tinggi.

Kesenjangan tingkat kecepatan perkembangan teknologi robot dengan teknologi AI juga kaitannya dengan studi kesadaran membawa kita kepada kesadaran bahwa integrasi antara sistem fisik dengan sistem intelegensi dan sistem kesadaran tidak terjadi serta merta begitu saja. Integrasi sistem kesadaran, sistem kecerdasan, dan sistem fisik harus sinkron dan kompatibel satu sama lain agar dicapai utilitas tertinggi. Upaya membangun itu membutuhkan kuasa, kehendak, dan ilmu yang luar biasa besar.

Begitulah cara kita memandang sains dan teknologi. Segala sesuatunya membutuhkan blueprint cerdas untuk mencapai utilitas tertinggi.

Hadirnya kita manusia sebagai sistem biologis, sistem kimia, sistem fisika, sistem matematika, sistem informasi, sistem kecerdasan, dan sistem kesadaran tertinggi, terkompleks, dan terakhir di semesta ini adalah hasil dari kuasa, kehendak, dan ilmu yang maha besar. Itulah Tuhan. Tapi kini bahkan kita tidak lagi menyebut nama Tuhan dalam literatur dan narasi sains kita. Tidak sebagai subjek aktif dalam sains dan teknologi yang membuka tabir khazanah ilmu kepada manusia. Tidak sebagai subjek yang mengajarkan sains kepada manusia dengan perantaraan kalam dan qolam.

Padahal dalam perspektif tasawuf segala sesuatu itu tidak ada, yang ada cuma Tuhan. Semua eksistensi itu adalah refleksi dari sifat dan wujud Tuhan. Sains dan teknologi adalah bayangan dari sifat, kuasa, kehendak, dan ilmu Tuhan. Semua eksistensi itu tidak ada jika sifat, kuasa, kehendak, dan ilmu Tuhan tidak hadir di situ. Semua eksistensi itu tidak ada, yang kita lihat adalah sifat, kehendak, kuasa, dan ilmu Tuhan. Semua eksistensi itu tidak ada, yang ada cuma Tuhan.

Bagaimana pun perspektif tasawuf tidak bisa disatukan dengan perspektif atheisme dalam sains. Inti kesenjangan perspektifnya ada di epistemologi.

Perspektif tasawuf dengan perspektif atheisme tidak akan bisa disatukan, walaupun obyeknya sama yaitu sains. Perspektif atheisme hanya mengolah persepsi materialisme sehingga melahirkan epistemologi yang setara dengan persepsinya.

Para penganut atheisme menuntut peran Tuhan harus tampak aktif dalam proses fisika, kimia, dan biologi, tapi Dia harus berada di luar fisika, kimia dan biologi sehingga bisa dibedakan antara mekanisme fisika, kimia dan biologi dengan mekanisme ilahiah. Ini tuntutan yang sangat lucu.

Fisika dan biologi itu mekanisme ilahiah dan Tuhan pun bekerja dalam perangkat fisika, kimia dan biologi. Mukjizat yang jelas berada di luar dan melampaui mekanisme fisika dan biologi pun tetap saja ditolak para atheis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun