Mohon tunggu...
asep gunawan
asep gunawan Mohon Tunggu... Pengabdi di Kabupaten Kepulauan Sula

ASN adalah jalan pengabdian, Menulis adalah jalan introspeksi pengabdian

Selanjutnya

Tutup

Love

Kenapa Cinta yang Salah Lebih Bucin?

25 Juli 2025   01:38 Diperbarui: 25 Juli 2025   01:38 13137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kenapa Cinta yang Salah Lebih Bucin (Sumber: istockphoto-478219650)

(Seri Tafsir Rasa - Esai Ke Duapuluhtiga)

Disclaimer: Tulisan ini bukan untuk membenarkan perselingkuhan. Ini adalah ruang tafsir atas rasa, berdasarkan cerita, pengalaman, dan literasi populer, untuk memahami sisi manusiawi dari cinta yang rumit dan kadang salah arah.

Ada kalanya, cinta yang datang bukan untuk dimiliki, tapi untuk membangkitkan bagian dari diri kita yang nyaris kita lupakan, sisi yang pernah merasa berharga, diinginkan, atau merasakan versi diri yang dulu membuat kita bahagia. Kita tidak sedang membenarkan selingkuh, tapi mari jujur: bukankah ada masanya kita lebih merasa berarti justru saat melakukan hal yang salah? Kadang, pasangan selingkuh yang bikin kita merasa dicintai. Mereka yang hanya hadir sebentar, diam-diam, tapi mampu membuat kita merasa tidak sendirian.

Kenapa Justru Cinta yang Salah Terasa Lebih Dalam?

Pernah mencintai seseorang yang kamu tahu tidak seharusnya kamu cintai, tapi justru di situ kamu rela memberi segalanya?

Aneh ya... justru saat tahu cinta itu salah, kita jadi lebih ikhlas mencintai. Lebih sabar. Lebih berjuang. Kenapa bisa begitu?

Merasa lucu! Kita bisa begitu lembut, begitu sabar, begitu bucin, justru ke orang yang hanya hadir di dalam ruang yang tersembunyi. Bukan yang sah, bukan yang setia. Tapi kenapa rasanya lebih berarti dan mendebarkan?

Diam-diam Kita Tahu Ini Salah, Tapi Tetap Menjalani

Ada masa ketika seseorang yang bukan pasangan justru membuat kita merasa lebih dicintai. Padahal, kalau dipikir dengan kepala dingin, hubungan seperti itu semestinya tidak pernah dimulai. Tapi tubuh dan hati ini seperti keras kepala: semakin dilarang, semakin nge-gas, "seperti menerobos lampu merah: tahu salah, tapi tetap dikejar karena rasa ingin yang tak terbendung"

Dia bukan seseorang yang seharusnya kutemui, tapi entah kenapa kita selalu ingin lebih mendekat lagi. Dia bukan "rumah", tapi kita justru merasa nyaman. Ironisnya, dengan pasangan yang sah, justru terasa jauh, hambar, bahkan kadang seperti dua orang asing yang tinggal serumah tanpa bicara.

"The forbidden fruit tastes the sweetest"

Beberapa psikolog menyebut istilah reward anticipation, semakin sesuatu terasa dilarang atau sulit digapai, semakin besar juga sensasi dan ketegangan yang kita rasakan saat mendekatinya. Perselingkuhan memberi itu: rasa deg-degan, euforia, sekaligus rasa bersalah.

Selingkuh itu tidak selalu lahir dari niat untuk menghancurkan, tapi seringnya justru karena seseorang kehabisan ruang untuk merasa ber-arti, dihargai, dan dipahami. Ruang itu bukan soal logika, tapi kebutuhan batin yang mungkin sudah lama tidak dipenuhi. Untuk merasa berharga, didengar, dimanja. Dan ketika itu diberikan oleh seseorang di luar rumah, maka rasanya bisa lebih nikmat daripada cinta yang legal tapi penuh rutinitas.

Beberapa literasi psikologi populer menyebut bahwa ketika kita terlibat dalam hubungan yang terlarang, sistem di otak, terutama dopamin, bisa aktif lebih intens. Dopamin ini semacam hormon kenikmatan, yang memuncak ketika kita merasakan tantangan, ketegangan, atau sensasi baru. Bukan karena selingkuhan lebih baik dari pasangan, tapi karena situasinya memberi rangsangan yang membuat kita merasa lebih dibutuhkan, lebih dilihat, lebih berarti. Dan mungkin, tanpa kita sadari, rasa candu itu bukan pada orangnya, tapi pada perasaan yang ia hadirkan, yaitu: menjadi diinginkan lagi.

Dan sering kali, orang yang membuat kita merasa diinginkan itu, bukan orang yang lebih baik. Ia hanya hadir pada waktu yang tepat, saat kita sedang kehilangan rasa percaya diri, kehilangan makna, atau kehilangan koneksi yang dulu pernah hidup di rumah sendiri.

Esther Perel, salah satu terapis hubungan yang banyak meneliti perselingkuhan, merangkumnya begini: "People don't cheat because they want someone else, they cheat because they want to be someone else."

Antara Fantasi dan Realita: Mana yang Benar-benar Cinta?

Dengan pasangan resmi, kita punya realita: lelah, konflik, dan hari-hari yang kadang hambar. Tapi dengan selingkuhan, yang kita rasakan hanyalah potongan momen terbaik, candaan, pelipur lara sesaat, kata-kata manis yang tak dibebani kewajiban. Di situ, kita sering menjadikannya cermin dari semua harapan yang tak lagi kita temukan di rumah sendiri.

Tapi tetap saja, kita bertahan. Kita bucin. Karena dengannya, kita merasa masih layak dicintai, walau sebentar, walau sembunyi-sembunyi.

Rasa Itu Salah, Tapi Nyata

Mungkin bukan dia yang benar. Tapi mungkin, rasa itu datang bukan untuk dimenangkan, melainkan untuk dimengerti. Kadang, kita tidak benar-benar mencintai orang ketiga itu, kita hanya rindu perasaan yang dulu pernah kita punya: perasaan dipilih, didengar, diperhatikan.

Karena saat hati tidak lagi menemukan tempatnya, ia akan tetap mencari, meski di ruang yang salah. Dan rasa, seaneh apapun bentuknya, hanya ingin diakui keberadaannya.

Dan Mungkin Itu Sebabnya...

Bukan untuk dibenarkan. Tapi untuk dipahami.

Karena kadang, cinta yang datang dalam bentuk yang salah justru mengingatkan siapa diri kita sebenarnya, bukan sebagai pelaku dosa, tapi sebagai manusia yang sedang mencari tempat untuk merasa cukup, bukan dalam arti fisik, tapi ruang batin di mana seseorang merasa dilihat, dianggap, dan dicintai tanpa harus menjadi versi lain dari dirinya.

Kalau hari ini kamu mencintai seseorang yang tak seharusnya, mungkin kamu sedang kehilangan dirimu sendiri, dan dia hanya cermin kecil tempat kamu belajar mencintai dirimu yang terluka.

Tidak semua rasa butuh dibawa sampai akhir. Tapi setiap rasa, kalau jujur, akan selalu meninggalkan pelajaran tentang siapa kita sebenarnya.

Karena dalam setiap cinta yang salah, ada bagian dari diri kita yang sedang berusaha kembali, bukan pada orang lain, tapi pada diri sendiri yang pernah hilang.

Dan mungkin, itu satu-satunya alasan kenapa rasa itu begitu sulit dilepaskan: bukan karena dia, tapi karena kita ingin percaya bahwa kita masih layak dicintai... bahkan dalam kondisi paling keliru.

Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Tulisan ini mungkin tidak memberi jawaban, tapi semoga bisa menjadi cermin kecil, buat kamu yang sedang bertanya, sedang ragu, atau sedang kehilangan diri di tengah rasa yang sulit dijelaskan.

Kita semua pernah salah arah. Tapi bukan berarti kita tidak bisa kembali. Bukan untuk menghapus rasa, tapi untuk memahami: bahwa kita layak dicintai... tanpa harus sembunyi.

Salam dari ruang yang jarang dibicarakan
Sanana, 30 Muharam 1447 H / 25 Juli 2025

Catatan:
Kutipan "People don't cheat because they want someone else, they cheat because they want to be someone else" sering dikaitkan dengan pemikiran Esther Perel. Meski kalimat ini tidak tertulis persis dalam bukunya The State of Affairs: Rethinking Infidelity (2017), maknanya merangkum benang merah dari wawancara, TED Talk, dan podcast Perel: bahwa perselingkuhan sering kali bukan soal orang ketiga, melainkan tentang kerinduan menjadi versi diri yang hilang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun