Beberapa literasi psikologi populer menyebut bahwa ketika kita terlibat dalam hubungan yang terlarang, sistem di otak, terutama dopamin, bisa aktif lebih intens. Dopamin ini semacam hormon kenikmatan, yang memuncak ketika kita merasakan tantangan, ketegangan, atau sensasi baru. Bukan karena selingkuhan lebih baik dari pasangan, tapi karena situasinya memberi rangsangan yang membuat kita merasa lebih dibutuhkan, lebih dilihat, lebih berarti. Dan mungkin, tanpa kita sadari, rasa candu itu bukan pada orangnya, tapi pada perasaan yang ia hadirkan, yaitu: menjadi diinginkan lagi.
Dan sering kali, orang yang membuat kita merasa diinginkan itu, bukan orang yang lebih baik. Ia hanya hadir pada waktu yang tepat, saat kita sedang kehilangan rasa percaya diri, kehilangan makna, atau kehilangan koneksi yang dulu pernah hidup di rumah sendiri.
Esther Perel, salah satu terapis hubungan yang banyak meneliti perselingkuhan, merangkumnya begini: "People don't cheat because they want someone else, they cheat because they want to be someone else."
Antara Fantasi dan Realita: Mana yang Benar-benar Cinta?
Dengan pasangan resmi, kita punya realita: lelah, konflik, dan hari-hari yang kadang hambar. Tapi dengan selingkuhan, yang kita rasakan hanyalah potongan momen terbaik, candaan, pelipur lara sesaat, kata-kata manis yang tak dibebani kewajiban. Di situ, kita sering menjadikannya cermin dari semua harapan yang tak lagi kita temukan di rumah sendiri.
Tapi tetap saja, kita bertahan. Kita bucin. Karena dengannya, kita merasa masih layak dicintai, walau sebentar, walau sembunyi-sembunyi.
Rasa Itu Salah, Tapi Nyata
Mungkin bukan dia yang benar. Tapi mungkin, rasa itu datang bukan untuk dimenangkan, melainkan untuk dimengerti. Kadang, kita tidak benar-benar mencintai orang ketiga itu, kita hanya rindu perasaan yang dulu pernah kita punya: perasaan dipilih, didengar, diperhatikan.
Karena saat hati tidak lagi menemukan tempatnya, ia akan tetap mencari, meski di ruang yang salah. Dan rasa, seaneh apapun bentuknya, hanya ingin diakui keberadaannya.
Dan Mungkin Itu Sebabnya...
Bukan untuk dibenarkan. Tapi untuk dipahami.
Karena kadang, cinta yang datang dalam bentuk yang salah justru mengingatkan siapa diri kita sebenarnya, bukan sebagai pelaku dosa, tapi sebagai manusia yang sedang mencari tempat untuk merasa cukup, bukan dalam arti fisik, tapi ruang batin di mana seseorang merasa dilihat, dianggap, dan dicintai tanpa harus menjadi versi lain dari dirinya.
Kalau hari ini kamu mencintai seseorang yang tak seharusnya, mungkin kamu sedang kehilangan dirimu sendiri, dan dia hanya cermin kecil tempat kamu belajar mencintai dirimu yang terluka.
Tidak semua rasa butuh dibawa sampai akhir. Tapi setiap rasa, kalau jujur, akan selalu meninggalkan pelajaran tentang siapa kita sebenarnya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!