Aku tidak pernah berharap dia meninggalkan keluarganya. Tapi aku juga tidak tahu harus bagaimana ketika dia mulai runtuh di pelukanku, bukan dengan air mata, tapi dengan kata-kata yang selama ini ditahannya dari rumah. Saat dia berkata, "Hanya di sini aku merasa diterima."
Dan itu ironis. Karena justru akulah yang tak pernah benar-benar diterima. Aku yang disembunyikan, yang tidak pernah disebut namanya, yang hanya dicari saat butuh tempat untuk memulihkan egonya. Tapi di sinilah dia duduk, seolah-olah aku satu-satunya tempat ia bisa melepaskan rapuhnya. Lucu, ya? Aku yang tak pernah diakui, justru menjadi ruang paling jujur tempat dia mencurahkan beban yang tak bisa dia bagi di rumahnya.
Tiap Laki-Laki Membawa Cerita yang Sama
Mereka datang dengan nama yang berbeda, gaya bicara yang berbeda, parfum yang berbeda. Tapi setiap dari mereka membawa narasi yang serupa: "Istriku berubah." "Aku tak dicintai lagi." "Di rumah, aku hanya diberi peran sebagai penyedia segalanya, tanpa pernah benar-benar didengarkan."
Awalnya aku mendengarkan karena itu bagian dari kesepakatan. Tapi lama-lama, aku bisa menebak isi kepalanya sebelum dia membuka mulut. Kalimat mereka seperti kaset lama yang diputar ulang, dengan nada getir yang dibuat-buat agar terdengar tulus.
Lucunya, mereka pikir aku percaya. Bahwa aku tak bisa membedakan antara rindu yang sungguhan dan rindu yang sedang pura-pura butuh pelarian. Mereka datang padaku bukan karena aku spesial, tapi karena aku diam.
Mungkin itu sebabnya aku jadi tempat yang terasa aman: aku tidak menghakimi, tidak mencatat, tidak membocorkan. Tapi juga karena mereka tahu, di sini mereka tak dituntut jadi suami, ayah, atau manusia yang sempurna. Di sini, cukup bayar, lalu bebas bicara, tanpa risiko kehilangan apa pun.
Kadang aku berpikir, apakah mereka sadar bahwa luka-luka yang mereka bawa bukan dari istri mereka... tapi dari ketidakjujuran pada dirinya sendiri?
Bukan Lagi Tentang Dia
Malam itu dia tidak datang lagi. Tidak ada pesan. Tidak ada alasan. Hanya keheningan yang terasa lebih jujur daripada kata-kata yang biasa ia ucapkan. Mungkin istrinya tahu. Mungkin hatinya lelah. Atau mungkin dia akhirnya sadar bahwa tubuhku bukan jawaban dari sepi yang ia pelihara diam-diam.
Tapi aku tidak ingin lagi menebak-nebak alasannya. Karena yang sesungguhnya hilang bukan dia, tapi bagian dari diriku yang selama ini diam-diam berharap: berharap ia kembali, berharap ia memilih, berharap ia peduli.
Dan aku? Aku merapikan sisa kehadirannya yang tinggal lipatan seprai dan aroma samar. Tapi malam itu aku tidak menangis. Aku hanya diam lama di depan cermin, dan bertanya:
"Kalau aku pun tak bisa dimiliki, setidaknya bisakah aku memaafkan diriku sendiri?"
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!