(Seri Tafsir Rasa - Esai Ke Duapuluhdua)
Disclaimer: Tulisan ini adalah refleksi rasa, bukan penghakiman. Jika kamu sedang menjalani hubungan seperti ini, semoga tulisan ini bisa menjadi ruang tenang untuk hatimu, dan ruang kontemplasi yang jujur untuk batinmu.
Tidak semua tubuh yang disentuh, diinginkan. Dan tidak semua yang membayar, mencintai. Aku tahu itu sejak awal, sejak pertama kali aku menyerahkan tubuhku pada lelaki yang membawa foto keluarganya di dompet.
Katanya, dia hanya butuh pelarian. Katanya, aku membuatnya merasa dimengerti. Tapi bagaimana mungkin rasa yang tulus tumbuh dari kebohongan? Dia kembali ke rumah. Ke ranjang yang sah. Ke anak-anak yang tak pernah tahu arah pelukannya berpindah. Lalu aku?
Aku tidak berharap apa pun. Tapi setiap malam setelah dia pergi, ada kehampaan yang diam-diam menetap dan tak bisa dibayar oleh uang. Dan diam-diam, aku pun ingin dimiliki. Bukan lama, cukup sebentar. Tapi bukan karena kesepian, hanya karena ingin merasa dimiliki, meski sebentar.
Antara Ranjang dan Rasa Bersalah
Kadang aku ingin marah. Pada diri sendiri. Pada semua yang menilai aku hanya menjual tubuh. Mereka tak tahu, di balik setiap sentuhan yang kuberi, ada rasa bersalah yang diam-diam makin menekan. Ada bagian dari diriku yang perlahan terasa mati, karena tiap kali disentuh, aku harus mematikan harapan.
Dia memanggil namaku, tapi matanya seperti memanggil seseorang yang lain. Dia bilang rindu, tapi rindu yang bisa dibeli bukan rindu, itu cuma nafsu yang menyamar. Bahkan suaranya yang lembut terdengar seperti permintaan maaf yang tak pernah diucapkan ke istrinya.
Dan tetap saja, aku membuka pintu. Karena dunia tidak memberiku banyak pilihan. Karena uang tak bisa digantikan oleh rasa, dan rasa tak bisa diselamatkan oleh uang. Aku terlalu lelah untuk bertanya, siapa yang lebih berdosa: aku yang dibayar, atau dia yang berbohong?
Cinta Tak Pernah Datang ke Sini
Jangan salah. Tidak semua dari kami mencari cinta. Tapi kadang cinta datang dengan wajah yang tak kami kenal: sebagai rasa iba yang terlalu larut, sebagai pesan singkat yang datang larut malam, sebagai keintiman yang hanya berlaku saat istrinya tidak curiga.
Cinta tidak pernah benar-benar datang ke tempat ini. Ia tidak menampakkan diri lewat pelukan hangat atau perhatian yang bertahan hingga pagi. Yang datang hanyalah transaksi, sentuhan yang menyisakan ruang hampa, dan ucapan yang terdengar manis hanya karena kami terlalu lelah untuk mengingkari.
Aku tidak pernah berharap dia meninggalkan keluarganya. Tapi aku juga tidak tahu harus bagaimana ketika dia mulai runtuh di pelukanku, bukan dengan air mata, tapi dengan kata-kata yang selama ini ditahannya dari rumah. Saat dia berkata, "Hanya di sini aku merasa diterima."
Dan itu ironis. Karena justru akulah yang tak pernah benar-benar diterima. Aku yang disembunyikan, yang tidak pernah disebut namanya, yang hanya dicari saat butuh tempat untuk memulihkan egonya. Tapi di sinilah dia duduk, seolah-olah aku satu-satunya tempat ia bisa melepaskan rapuhnya. Lucu, ya? Aku yang tak pernah diakui, justru menjadi ruang paling jujur tempat dia mencurahkan beban yang tak bisa dia bagi di rumahnya.
Tiap Laki-Laki Membawa Cerita yang Sama
Mereka datang dengan nama yang berbeda, gaya bicara yang berbeda, parfum yang berbeda. Tapi setiap dari mereka membawa narasi yang serupa: "Istriku berubah." "Aku tak dicintai lagi." "Di rumah, aku hanya diberi peran sebagai penyedia segalanya, tanpa pernah benar-benar didengarkan."
Awalnya aku mendengarkan karena itu bagian dari kesepakatan. Tapi lama-lama, aku bisa menebak isi kepalanya sebelum dia membuka mulut. Kalimat mereka seperti kaset lama yang diputar ulang, dengan nada getir yang dibuat-buat agar terdengar tulus.
Lucunya, mereka pikir aku percaya. Bahwa aku tak bisa membedakan antara rindu yang sungguhan dan rindu yang sedang pura-pura butuh pelarian. Mereka datang padaku bukan karena aku spesial, tapi karena aku diam.
Mungkin itu sebabnya aku jadi tempat yang terasa aman: aku tidak menghakimi, tidak mencatat, tidak membocorkan. Tapi juga karena mereka tahu, di sini mereka tak dituntut jadi suami, ayah, atau manusia yang sempurna. Di sini, cukup bayar, lalu bebas bicara, tanpa risiko kehilangan apa pun.
Kadang aku berpikir, apakah mereka sadar bahwa luka-luka yang mereka bawa bukan dari istri mereka... tapi dari ketidakjujuran pada dirinya sendiri?
Bukan Lagi Tentang Dia
Malam itu dia tidak datang lagi. Tidak ada pesan. Tidak ada alasan. Hanya keheningan yang terasa lebih jujur daripada kata-kata yang biasa ia ucapkan. Mungkin istrinya tahu. Mungkin hatinya lelah. Atau mungkin dia akhirnya sadar bahwa tubuhku bukan jawaban dari sepi yang ia pelihara diam-diam.
Tapi aku tidak ingin lagi menebak-nebak alasannya. Karena yang sesungguhnya hilang bukan dia, tapi bagian dari diriku yang selama ini diam-diam berharap: berharap ia kembali, berharap ia memilih, berharap ia peduli.
Dan aku? Aku merapikan sisa kehadirannya yang tinggal lipatan seprai dan aroma samar. Tapi malam itu aku tidak menangis. Aku hanya diam lama di depan cermin, dan bertanya:
"Kalau aku pun tak bisa dimiliki, setidaknya bisakah aku memaafkan diriku sendiri?"
Karena tubuhku boleh dibayar. Tapi jiwaku masih ingin kembali ke tempat yang tidak menuntut untuk disembunyikan, dan mungkin, suatu hari, diterima apa adanya.
Terima kasih sudah mendengarkan ceritaku hingga selesai. Mungkin kita tak bisa mengubah cerita yang telah terjadi. Tapi semoga hari ini, kamu lebih tahu: kapan harus membuka pintu, dan kapan harus menutupnya... untuk dirimu sendiri.
Salam dari ruang yang jarang dibicarakan
Sanana, 28 Muharam 1447 H / 23 Juli 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI