Mohon tunggu...
asep gunawan
asep gunawan Mohon Tunggu... Pengabdi di Kabupaten Kepulauan Sula

ASN adalah jalan pengabdian, Menulis adalah jalan introspeksi pengabdian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Era Disrupsi vs Era Bertahan: Siapa yang Sanggup Menunggu Hari Esok?

27 Mei 2025   14:43 Diperbarui: 27 Mei 2025   14:43 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita pernah diajarkan cara berlari di era disrupsi. Tapi tak pernah diajarkan cara bertahan di era ketidakpastian."
Membangun startup, mengejar inovasi, beradaptasi digital, semua jadi mantra yang terus diulang. Tapi banyak dari kita kini justru duduk diam. Bukan karena malas, tapi karena tenaga sudah terkuras untuk sekadar bertahan.

Ekonomi Indonesia tumbuh 4,87 persen di kuartal pertama 2025, menurut BPS. Tapi pertumbuhan itu terasa asing di meja makan rakyat. Tagihan bertambah, daya beli turun, dan ketidakpastian makin memanjang. Rakyat tidak menolak pertumbuhan. Mereka hanya bertanya: kalau ekonomi tumbuh, kenapa hidup justru makin sulit?

Kita terbiasa mendengar kata "disrupsi", dari seminar teknologi, kurikulum kampus, hingga visi kebijakan pemerintah. Era disrupsi adalah masa ketika semua dituntut berubah cepat: adaptif, inovatif, dan digital. Tapi era bertahan adalah fase ketika orang tak lagi mengejar mimpi, melainkan menyelamatkan diri dari krisis yang datang bertubi-tubi. Yang satu penuh semangat kemajuan, yang satu dipenuhi strategi agar tidak tumbang.

Ironisnya, tidak semua orang memulai dari garis yang sama. Di era disrupsi, mereka yang punya modal dan jaringan bisa lari lebih cepat. Tapi sebagian besar hanya disuruh ikut, tanpa bekal untuk bertransformasi. Maka ketika krisis datang, pandemi, inflasi, harga komoditas anjlok... benteng pertahanan sosial kita runtuh pelan-pelan. Era disrupsi pun berubah wujud, dari panggung inovasi menjadi ladang survival.
Dan sejak saat itu, masyarakat tidak lagi bicara tentang transformasi digital atau skill masa depan, mereka bicara tentang bagaimana caranya bertahan dari hari ke hari.

Kita melihatnya hari ini: UMKM sulit berkembang dan hampir tutup, lulusan sarjana menumpuk surat lamaran, nelayan tidak melaut karena solar tak terbeli. Dalam banyak teori ekonomi, ini disebut fase "resilience economy", di mana masyarakat tak lagi berpikir untuk tumbuh, tapi agar tidak jatuh. Mereka tidak sedang malas. Mereka sedang takut.

Dalam prospect theory, Daniel Kahneman menyebut bahwa manusia cenderung lebih takut kehilangan daripada tertarik mengejar peluang. Maka saat krisis melanda dan kepercayaan menipis, yang dilakukan rakyat bukan investasi, bukan inovasi, melainkan bertahan. Menunda belanja, memperpanjang pemakaian, menahan keinginan.

Kita juga diajarkan tentang disruptive innovation, istilah yang diperkenalkan Clayton Christensen. Namun inovasi terbaik sekalipun tidak akan bertahan jika masyarakat sebagai konsumennya tak lagi punya daya beli. Pasar tidak bergerak bukan karena tak suka produk, tapi karena tak sanggup membeli.

Dan inilah yang sedang kita hadapi. Kita hidup dalam situasi di mana program pembangunan terus diumumkan: jalan tol, kawasan industri, investasi asing. Tapi proyek besar itu tidak serta-merta menetes ke warung pinggir jalan, ke penghasilan buruh harian, ke dapur keluarga muda yang bingung beli susu atau bayar kontrakan.

Pertumbuhan ekonomi bukan sekadar soal headline. Ia hidup dalam detak jantung dapur rakyat. Dalam keranjang belanja yang makin kosong. Dalam wajah cemas generasi muda yang merasa kuliah empat tahun belum tentu bisa beli motor kredit.

Tapi ini baru kuartal pertama. Masih ada waktu. Pemerintah masih bisa berbalik arah, menggeser fokus dari target angka ke penguatan fondasi sosial. Subsidi langsung yang tepat sasaran, jaring pengaman ekonomi yang konkret, dan pembangunan yang dimulai dari bawah, bukan dari atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun