Setelah di sahkannya UU cipta kerja dengan jangka waktu yang sangat di bilang terburu buru, timbul panggilan nurani dari rakyat karena mendengar pengesahan UU cipta kerja tersebut, pada hari Senin 5 Oktober 2020 timbul lah berbagai penolakan, yang di mulai dari penolakan oleh fraksi demokrat, sampai ke seluruh kaum buru dan berbagai elemen masyarakat di berbagai daerah di seluruh indonesia, karena mendengar dan melihat secara online dari berbagai media dengan menyebarnya video statement dari fraksi Demokrat  terkait penolakan pengesahan UU cipta kerja, aksi demonstrasi pun di lakukan oleh kaum buru dan mahasiswa sampai membuat rasa keterpanggilan dari pelajar STM .yang menjadi titik acuan dalam perjuangan demokrasi lewat aksi demo yang jika di luruskan secara prosedurnya dalam pembahasan RUU ,tata caranya harus Ada partisipasi masyarakat seperti yang tertulis dalam: pasal 96
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis
dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang
perseorangan atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara
lisan dan/atau tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang undangan harus dapat diakses dengan
mudah oleh masyarakat.
Pada tanggal 5 Oktober 2020
RUU ciptaker di sahkan dengan begitu cepat tanpa ada pembahasan yang matang, dengan melihat poin poin penting yang menjadi hak asasi manusia, sehingga pekerja buru belum melihat titik jelas dari UU ciptaker ini apakah lebih mementingkan hak hak mereka ataukah keberpihakan terhadap penguasa oligarki.
Masa aksi yang di cap melakukan tindakan anarkisme, sampai hari ini saya yakinkan bahwa aksi yang terjadi adalah tindakan kekecewaan terhadap ketidak responan anggota DPR RI dalam mewakilkan aspirasi rakyat, karena bisa di sebut begitu bahwasannya wakil rakyat adalah penyambung lidah rakyat, wakil rakyat dengan sendiri memutuskan benang aspirasi rakyat karena lebih mementingkan kepentingan sendiri.