Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Si Kribo - Catatan Tepi

31 Agustus 2020   07:17 Diperbarui: 31 Agustus 2020   07:22 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu saya meluncur ke proyek sekolah Borobudur menemui si Kribo untuk meminta keramik kecil seukuran piring kecil.

"Nanti kalau kamu saya kasih anak-anak yang lain juga harus saya kasih, nggak...keramik itu sudah pas-pasan jumlahnya, awas jangan diambil...!" gertaknya. Dia langsung menyingkir meninggalkan saya yang terpaku. Si kribo tahu, jumah kami tak sedikit sehingga memberi satu berarti memberi semua.

"Kalau gitu nanti sore tunggu si Kribo pulang, kita ambil di toilet masing-masing satu jangan sampai ketahuan!" usul seseorang ketika kami kembali berkumpul.

"Nyuri dong namanya!" saya berusaha berkeras menolak

"Elu kan sudah minta, nggak dikasih, ya inilah cara satu-satunya!"
rencanapun disusun, saya tak tertarik maskipun sangat ingin memiliki keramik kecil itu. Atas nama solidaritas saya tetap mengikuti rencana mereka dimana kami akan menunggu semua pekerja untuk pulang terutama menunggu si Kribo berkemas dengan motor Binter Mercynya.

Pukul setengah enam kami tak lihat lagi ada orang-orang di proyek tersebut pun si Kribo tak nampak lagi batang hidungnya. Binter mercy berwarna biru juga tak lagi terparkir di halaman parkir yang belum sepenuhnya tertutup alas semen.

"Aman!" seru Deni. Saya tak meyakini, lalu memilih menyusuri lorong sekolah yang masih berbau cat untuk menyelidik. Sementara teman-teman lain sudah masuk kedalam Toilet yang sedang dibangun dan masing-masing mencungkil satu keramik dari dinding yang masih basah. Sekejap mereka hilang dengan hasil cungkilannya ketika tiba-tiba dihadapan berdiri sosok tinggi besar dengan rambut kribonya. Ia berlari kearah toilet dan marah tak tentu arah.

"Anak-anak sialan, rusak ..rusak!" ia mengumpat dan tak lama memburu saya yang tengah berdiri mematung di lorong tak jauh dari toilet. Tak ada siapa-siapa lagi selain diri saya, semua telah menghilang bagai awan tertiup angin.

"Hei, Kamu yang curi ya?... kurang ajar ini anak-anak!" si Kribo mendekat, nafasnya mendengus lalu mencengkeram kaus lusuh saya. Saya menangis, bukan merasa bersalah tetapi merasa terintimidasi. Ia kemudian melingkarkan tangannya ke pinggang saya dan mencangking tubuh saya ke depan pintu toilet.

"Kamu kemanakan keramik-keramik itu?" saya tetap menggeleng tak tahu meskipun saya tahu teman-teman yang lain telah membawanya ke Markas kami. Saya memilih bungkam.

'Dasar anak  pencuri..saya laporkan ke bapakmu nanti!" ancam si Kribo. Tangis saya telah berhenti, tubuh saya masih dalam lingkaran tangan si Kribo yang panjang sampai seseorang ibu dengan suara teduh mendekat dan bertanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun