"Seperti ibu juga!" balas saya. Ibu mengernyitkan dahi melihat saya pergi begitu saja tanpa memberi jawaban yang jelas kepadanya.
Jurus menangis ini adalah jurus saya yang paling pertama menghadapi perselisihan pada apa saja meskipun tak berlarut-larut namun saya berubah keras dan melawan segala sesuatu yang saya anggap salah  dengan gigih setelahnya. Bagi orang lain tetap saja saya dianggap sebagai anak lelaki yang cengeng.
Suatu pagi saya menemukan pintu kandang Meri terbuka lebar, biasanya ia akan keluar hanya jika saya membukakan pintu untuknya. Suara bebek  yang khas itu ketika pintu dibuka adalah suara gembira namun pagi itu saya tak mendapatkannya. Saya berteriak memanggil nama Meri berkali-kali
"Meri..Meri..Meri..ck..ck..ck..Meri..Meri..Meri!" biasanya Meri akan segera berada dibawah kaki saya tak lama setelah panggilan itu. Saya berteriak memanggil ibu yang tergopoh mendekat ke halaman samping.
"Ada apa?" tanya ibu
"Meri hilang! ..Meri kemana?" suara saya tercekat menahan tangis. Ibu melongok kedalam kandang, ditariknya kain perca yang biasa menjadi tempat tidur bebek kesayangan kami. Ceceran darah dan beberapa lembar bulu nampak koyak diantaranya. Ibu memandang saya dengan cemas dan berbicara perlahan.
"Sepertinya, Meri bebekmu dimakan Musang!"
Saya melolong panjang, memanggil nama Meri, tangis pecah tak berkesudahan, mencoba membuka atap kandang Meri dan ceceraan darah makin jelas terlihat.
Pagi itu saya tak berangkat mengaji di Pesantren kecil al-Jannatin. Menghabiskan tangis  meratapi kepergian Meri. Ibu sibuk memeluk namun saya tak henti menangis. Ia membiarkan saya kelelahan menangis hingga diakhir kelelahan saya menggenggam batu mencoba bertanya pada ibu apa itu Musang dan dimana ia gerangan. Ibu hanya menggeleng tak tahu.
Tujuh malam saya duduk ditepi atap seng, tak menunggu purnama tetapi menunggu seekor Musang dengan genggaman batu ditangan. Saya ingin membunuhnya namun tak kunjung menemuinya. Hati saya hampa ditinggal Meri dengan isak tangis, Sementara itu ibu tetap terdengar menangis, tangis yang telah saya salah artikan sebagai kelemahan Ibu.
Kelak menjelang akhir sekolah dasar saya baru mengetahui bahwa ibu menangis mengadu pada Penciptanya ditengah malam sunyi, tak menangisi persoalan atau kehilangan seusatu tetapi menangisi betapa  lemah seorang mahluk dihadapan Tuhannya.