Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tangis - Catatan Tepi

26 Agustus 2020   22:58 Diperbarui: 26 Agustus 2020   23:02 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Seperti ibu juga!" balas saya. Ibu mengernyitkan dahi melihat saya pergi begitu saja tanpa memberi jawaban yang jelas kepadanya.

Jurus menangis ini adalah jurus saya yang paling pertama menghadapi perselisihan pada apa saja meskipun tak berlarut-larut namun saya berubah keras dan melawan segala sesuatu yang saya anggap salah  dengan gigih setelahnya. Bagi orang lain tetap saja saya dianggap sebagai anak lelaki yang cengeng.

Suatu pagi saya menemukan pintu kandang Meri terbuka lebar, biasanya ia akan keluar hanya jika saya membukakan pintu untuknya. Suara bebek  yang khas itu ketika pintu dibuka adalah suara gembira namun pagi itu saya tak mendapatkannya. Saya berteriak memanggil nama Meri berkali-kali

"Meri..Meri..Meri..ck..ck..ck..Meri..Meri..Meri!" biasanya Meri akan segera berada dibawah kaki saya tak lama setelah panggilan itu. Saya berteriak memanggil ibu yang tergopoh mendekat ke halaman samping.

"Ada apa?" tanya ibu

"Meri hilang! ..Meri kemana?" suara saya tercekat menahan tangis. Ibu melongok kedalam kandang, ditariknya kain perca yang biasa menjadi tempat tidur bebek kesayangan kami. Ceceran darah dan beberapa lembar bulu nampak koyak diantaranya. Ibu memandang saya dengan cemas dan berbicara perlahan.

"Sepertinya, Meri bebekmu dimakan Musang!"

Saya melolong panjang, memanggil nama Meri, tangis pecah tak berkesudahan, mencoba membuka atap kandang Meri dan ceceraan darah makin jelas terlihat.

Pagi itu saya tak berangkat mengaji di Pesantren kecil al-Jannatin. Menghabiskan tangis  meratapi kepergian Meri. Ibu sibuk memeluk namun saya tak henti menangis. Ia membiarkan saya kelelahan menangis hingga diakhir kelelahan saya menggenggam batu mencoba bertanya pada ibu apa itu Musang dan dimana ia gerangan. Ibu hanya menggeleng tak tahu.

Tujuh malam saya duduk ditepi atap seng, tak menunggu purnama tetapi menunggu seekor Musang dengan genggaman batu ditangan. Saya ingin membunuhnya namun tak kunjung menemuinya. Hati saya hampa ditinggal Meri dengan isak tangis, Sementara itu ibu tetap terdengar menangis, tangis yang telah saya salah artikan sebagai kelemahan Ibu.

Kelak menjelang akhir sekolah dasar saya baru mengetahui bahwa ibu menangis mengadu pada Penciptanya ditengah malam sunyi, tak menangisi persoalan atau kehilangan seusatu tetapi menangisi betapa  lemah seorang mahluk dihadapan Tuhannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun