"Selamat datang mbakyu..semoga betah disini ya!!" sambutan hangat kami terima dari satu dua tetangga yang datang menghampiri.
Saya tak mengingat satu demi satu teman kecil yang mengantar tetapi hanya Asep tetangga depan rumah yang saat itu saya ingat mengantar dan merasa kehilangan. Salaman terakhir kami begitu erat saat truk perlahan meninggalkan rumah baru kami usai pesta kecil diselenggarakan.
Menjelang Isya, usai membantu merapikan beberapa barang pindahan kedalam kamar saya memanjat lewat dahan pohon jambu batu kesisi atap rumah yang terbuat dari lembaran seng yang teramat tebal sehingga diinjak sekuat apapun tak  ada lekukan yang dibuat oleh jejak kaki. Saya menggelar sarung lalu merebahkan diri menyendiri menatap langit.
Langit Cilandak kala itu begitu bersih, bulan sedang bulat sempurna, sinar peraknya memantul di permukaan lembaran atap seng yang terlihat baru. Markas Korps Komando Operasi atau KKO yang baru saat itu nampak masih sunyi, penghuni-penghuni baru perlahan mulai mendatangi rumah-rumah mereka.
Dari tiga puluh ribu pasukan yang menyematkan lambang pasukan khusus KKO angkatan laut tersebut perlahan telah diciutkan menjadi lima ribu personnel saja untuk kelak kemudian merubah diri menjadi pasukan Korps Marinir.
Bapak telah terpilih diantaranya untuk menempati markas baru tersebut. Keloyalan mereka terhadap Revolusi Dwikora dan Trikora Presiden Sukarno telah menempatkan posisi yang sulit bagi KKO ketika pemerintahan Orde baru lahir. Sikap curiga dari pemerintah baru yang berbeda orientasi dari Ofensive ke Defensive telah menimbulkan sikap saling curiga diantara angkatan bersenjata seusai pengkhianatan Partai Komunis Indonesia.
Sejarah satu demi satu tertulis dikepala saya yang masih tak tahu apa-apa dan hanya menguping cerita demi cerita, dan ditepi atap seng kokoh itu saya sering merenungi perjalanan hidup bapak, ibu, kami sekeluarga serta sejarah hidup lainnya.
Saya memulai menulisnya dalam hati dan kelak menyebutnya CATATAN TEPI.
-From the desk of Aryadi Noersaid-