Mohon tunggu...
Arya Koembakarna
Arya Koembakarna Mohon Tunggu... -

buku, bass dan blues

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Musyawarah untuk Mufakat dan Mini Market

12 Oktober 2014   20:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:20 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejak era pembangunan ekonomi Orde Baru, semua sektor yang menumbuhkan ekonomi nasional digenjot habis habisan termasuk dalam hal perdagangan. Perdagangan dalam arti transaksi jual beli langsung antara pembeli dan penjual juga ditingkatkan sedemikian rupa sehingga mulai munculah pusat pusat perbelanjaan. Setiap jengkal tanah di kota besar sedapat dapatnya diupayakan untuk membangun sentra bisnis termasuk pusat perdagangan supaya bernilai ekonomi. Setelah era Orde Baru tamat dan babak reformasi dimulai pembangunan pusat pusat perdagangan itu berkelanjutan bahkan semakin marak. Trend lalu bergeser melalui pusat perdagangan mini atau mini market. Di kota saya sendiri (mungkin juga di kota kota Kabupaten lain), ijin pembangunan mini market ini malah kesannya tanpa kendali karena belum lagi jarak 1 kilometer habis ditempuh ada 2 mini market dan beberapa malah dengan merek dagang yang sama. Jika melakukan perjalanan ke Yogya melewati jalur selatan Jawa Tengah mudah dijumpai mini market bahkan sampai ke desa desa di jalur perlintasan alternatif Selatan. Nampaknya kebiasaan belanja barang kebutuhan sehari hari perlahan tapi pasti mulai bergeser ke mini market. Karenanya sekarang sangat mudah dijumpai bahkan untuk membeli pembersih kuping saja (alias cotton butt) orang lebih suka membelinya di mini market ketimbang di warung tetangga atau malah di pasar tradisional. Dan apakah akibatnya itu lambat laun untuk kultur masyarakat? Budaya belanja sehari hari di warung atau pasar tradisional sedikit demi sedikit luntur dan digantikan dengan budaya bayar pas tanpa tawar menawar tanpa omong asik dengan penjualnya. Tawar menawar harga di warung atau pasar tradisional sebenarnya adalah bentuk lain musyawarah untuk mufakat antara pembeli dan penjual, dilanjutkan dengan obrolan akrab warna warni yang mengasyikkan. Kebiasaan belanja semacam itu umumnya dilakukan antara sekelompok pembeli dan penjual. Hasilnya adalah semacam kesamarataan harga karena beberapa pembeli yang membeli barang yang sama dengan jumlah yang sama, umumnya akan mendapatkan harga yang sama.

Datang, pilih, masukkan keranjang belanja, bayar, tanpa basa basi dan beres, begitulah sifat mini market. Keberadaan mini market di segala penjuru dan pelosok kota Kabupaten yang seolah tanpa kontrol lambat laun akan merubah budaya masyarakat karena di situlah sehari hari terjadi hubungan langsung. Apa yang dilakukan masyarakat sehari hari secara langsung, itulah yang membentuk budaya nantinya. Belanja tinggal beres akan mengendap sebagai suatu sikap massa yang mau terima beres tanpa proses. Musyawarah, dalam hal ini adalah tawar menawar harga barang, dan mufakat dalam hal kesepakatan harga akhir, lambat laun akan hilang dan mungkin akan terkikislah nantinya budaya musyawarah untuk mufakat secara umum atau global.

Tentu bukan tanpa sebab jika para pendiri bangsa ini memasukkan filosofi musyawarah untuk mufakat dalam ideologi Pancasila. Kultur orang Indonesia memang pada umumnya sejak dahulu kala meletakkan prinsip hubungan sosial terutama pada para tetangga terdekat. “Tetangga dekat yang baik, jauh lebih baik daripada saudara dekat yang jauh” demikian ujar ujar diucapkan. Budaya itu lalu menciptakan sebuah sikap toleransi dan pembicaraan untuk kepentingan lingkungan. Semua yang menyangkut kepentingan bersama di lingkungan lalu dimusyawahkan untuk kemaslahatan bersama, mufakat diambil demi tercapainya tujuan kepentingan bersama. Yang usulnya tidak diterima umumnya dengan lapang dada mau menerima keputusan bersama dan melaksanakannya. Demikianlah budaya itu dibangun dan dilakukan turun temurun oleh masyarakat kita. Kebudayaan lalu menjadi identitas sebuah kelompok masyarakat dan musyawarah untuk mufakat adalah identitas kita sebagai sebuah kelompok masyarakat bernama bangsa Indonesia.Identitas musyawarah untuk mufakat lambat laun akan sekarat dan mati seiiring dengan lembar demi lembar rupiah yang semakin banyak dikeluarkan dari dompet orang Indonesia ke kasir mini market.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun