Mohon tunggu...
Idwar anwar
Idwar anwar Mohon Tunggu... Freelancer - writer, editor

writer, editor

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Andi Jemma: Tahta untuk Republik

17 Juli 2019   08:03 Diperbarui: 17 Juli 2019   08:23 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

dan langit di kota ini, meneteskan darah
peluh menderas
menikam-nikam tubuh
aku menyaksikan
kesedihan membuncah dari dalam dada
air mata mengalir
memahat sungai-sungai kepedihan
bocah-bocah tak dosa mengeja derita
dan perempuan-perempuan tanpa daya
berlarian dengan kaki-kaki beralas duka

di kota ini, mengalir deras darah pejuang
membasahi tanah Dewata yang diulur dari langit

aku dengar suara senjata menyalak
memuntahkan peluru-peluru yang kelaparan
raungan meriam-meriam mengganas
memahat dinding-dinding Istana Luwu
amarah membumbung di udara

tapi Merah Putih tetap tegar berkibar
di udara yang dipenuhi asap mesiu
dan bau anyir darah
yang menetes dari borok-borok masa lalu

meski tercabik-cabik
Merah Putih tak surut menantang matahari
tak takut menghancurkan angkara murka
tak gentar menghadapi keserakahan
tak lemah menerkam penghianatan;
tak gentar menggilas kebiadaban
 
langit melukis merah di atas kota Palopo
dengan tinta darah dan air mata
di atas kanvas leluhur, tanah Dewata
berkisah tentang nyawa-nyawa melayang
tentang tubuh-tubuh terkapar bersimbah darah
tentang harga diri yang terkoyak
diinjak-injak keserakahan

aku menyaksikan kota ini dari balik jendela
merasakan getaran dari peluru-peluru meriam
yang menghantam dinding Istana
dan mengoyak-ngoyak rumah penduduk

aku terdiam
debar jantungku berpacu dengan suara desingan peluru
para pemuda pejuang mengawalku
menjaga setiap gerakku
lalu membawaku keluar Istana
mengembara, melakukan perang gerilya

air mataku menetes
menggurat sungai-sungai kecil di pipiku
tak sanggup rasanya meninggalkan Istana
dan para pejuang yang menyabung nyawa
pantang mundur di garis terdepan

tak kuasa rasanya mendengar jerit rakyatku
melukis senyum, tapi menjelma perih
memahat harga diri, namun berubah derita
mengukir pekik merdeka, tetapi mewujud kematian

kulihat, keringat yang mengalir deras
membanjiri tanah di kotaku
menjelma lautan darah
mengalir dari sungai-sungai harapan
tubuh-tubuh pejuang terkapar dikoyak peluru
mayat-mayat terbujur kaku
di dekap tanah Dewata penuh kasih

aku berharap, darah yang tertumpah hari ini
akan mengalir di sungai-sungai sorga
air mata yang menetes
adalah lautan asa yang tak kunjung padam
pedihnya duka di tanah ini
melukis senyum hari esok

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun