Mohon tunggu...
Arumi fathehana
Arumi fathehana Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

saya suka matcha

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Masa Lalu

25 Oktober 2023   20:22 Diperbarui: 25 Oktober 2023   20:36 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tik... tik... tik... dentuman detik waktu membawaku berlari begitu cepat. Memaksaku untuk cepat melupakan masa lalu. Ya, masa lalu. Masa lalu yang sulit terdefinisikan. Bahagiakah? Senangkah? Sedihkah? Pilukah? Aku tak tahu apa yang aku rasakan.

Yang jelas, ketika aku mengingatnya aku seolah mati rasa, tak dapat merasakan apapun. 

Bagiku semua sama, bahagia, sedih, suka dan duka hanyalah sebuah nama. Sama-sama tak lagi indah, sama-sama tak menyakitkan dan tak bermakna.

Pagi ini hari pertama kelas 2 SMA, waktu mempertemukan aku dengan seseorang. Sesosok roh yang sekejap merasuki hambar hatiku.

"Naa.." ku dengar seseorang membangunkanku dari lamunanku.

Aku diam, mencoba menerawang wajahnya, ternyata ia si Bara teman sekelasku. Ia tersenyum lalu menegup bahuku dan duduk disampingku. "Kenapa?" tanyanya.


Akupun berkata, "Ng, nggak, kamu."

"Oh, ini (menunjuk kaca matanya)? Kenapa aneh ya?" potongnya.

Sejujurnya, Bara mirip dengan Aksa, seseorang dalam masa laluku. Semua yang ada dalam diri Bara ku lihat sama dengan Aksa.

 Sejak kelas 1 SMA, sejak aku kenal Bara sejak saat itu pula sosok Aksa seolah kembali hadir dalam hidupku dengan nama Bara. 

Jujur, walau tak sepenuhnya nama Aksa dapat ku hapus bersih dalam hati tapi kehadiran Bara cukup membuatku mampu melupakan melupakan nama Aksa.

Wajahnya sama persis, physicly, senyumnya, tapi kenapa sekarang dia harus pake kaca mata yang bikin dia mirip banget sama Aksa. 

Aku jadi rindu dengan kehadiran Aksa. Sepertinya kehadiran Bara kali ini yang membuatku merindukan Aksa dan malah membuatku ingin kembali kepada Bara.

"Hai!!! Alana, what happen?" sapa Bara lagi. Tanpa menunggu jawabanku dia menarikku untuk masuk kelas, ternyata bel masuk sudah berdering tapi aku tak mendengar.

Sesampainya di kelas, Bara malah duduk disampingku. Ingin rasanya aku meminta Bara untuk melepas kaca matanya tapi bagaimana mungkin aku dapat menyuruh orang terpopuler di sekolah hanya untuk kepentinganku pribadi.

Aku mencoba mengunci hati, melupakan semua tentang Bara dan Aksa. Ku lihat cewek-cewek kanan kiriku melipat muka, sepertinya mereka cemburu karena Bara duduk disampingku. Siapa sih yang nggak suka dengan cowok seperti Bara. 

Cakep, pintar, baik, pokoknya perfectionist. Aku pun juga demikian, tapi kayaknya mimpi deh dia bisa suka sama aku. Berapa ribu cewek yang mesti aku kalahin. Ah.. menghayal.

Bel istirahat berdering, aku tak bergegas keluar kelas. Aku masih ingin memandangi wajah Bara yang sedang tertidur pulas dari tadi. Sayangnya, tiba-tiba Pak Gio memanggil Bara dan dengan terpaksa aku membangunkannya. 

Ketika dia bangun dan bergegas meninggalkan kelas aku seolah tak ingin pisah, rasanya aku bakal kangen dia. Sepertinya berlebihan, tapi ini kenyataan.

Sepertinya kebersamaan di hari pertama kelas 2 SMA Bara telah berhasil mewarnai kanvasku yang sudah lama kusam.

 Entah kenapa dalam hatiku, ingin rasanya Yoga mewarnai kanvasku untuk selamanya.

Hari-hariku benar berwarna dengan kehadiran Bara. Nggak terasa 1 bulanpun berlalu, berarti 1 bulan pula kebersamaanku dengan Bara.

 Ternyata dalam waktu 1 bulan itu telah banyak hal yang sudah kita ceritakan terkecuali ceritaku tentang kemiripannya dengan Aksa. 

Bara orang yang asik, baik, perhatian, pendengar setia dan saran-sarannya benar jitu. Aku ingin cepat menghapus Aksa agar tak terus menjadi luka. 

Suatu malam aku bertekad untuk menceritakannya namun sebelum aku ingin bercerita sebuah pesan singkat di handphoneku, dia mengirimkan pesan untukku.

Isinya seperti ini: Alana, maaf ya tadi pagi aku lupa pamit. 1 bulan kedepan aku karantina di Surabaya pelatihan Olimp robotic.

 Aku berangkat malam ini jam 11. Kamu baik-baik ya di kelas! Oya, jangan hubungi aku soalnya di sana HP di nonaktifkan.

Pesannya membuat senyumku keruh. Akupun membalasnya: Ah Bara, ya udah kamu juga baik-baik ya di Surabaya! Aku bakal kehilangan kamu banget soalnya kalo ada soal-soal yang aku nggak tahu aku nggak bisa tanya ma kamu donk?

Malam itu waktu menunjuk jam 10, biasanya aku sudah tertidur pulas tapi kali ini tidak. Aku mencoba berkali-kali mengatupkan mata tapi nihil. Akhirnya, aku menghubungi Bara tapi HPnya mati. 

Nggak tahu rasanya aku pengen nangis. Aku nggak mau jauh dari Bara. Tiba-tiba ada pesan: Alana, suatu saat nanti pasti datang. Tunggu aku! Bara.

Sebenarnya isi pesan Bara membuatku penasaran, namun rupanya pesan itu mampu membuatku tenang. 

Dalam pikirku, apapun yang Bara katakan, yang penting dia mengirimkan pesan ini untukku yang artinya dia mengerti tentang perasaanku.

Esoknya, aku merasakan hari-hari hambar tanpa Bara. 1 hari saja sepertinya aku tak mampu tersenyum tanpa kehadiran Bara. 

Tiap kali memandangi bangkunya aku merindukannya, hari-hari tanpa Bara nggak asik.

Ketika aku mencoba berbaring dibangkunya aku lihat di kolong mejanya ada sebuah kotak. Aku ragu untuk menyentuh kotak itu. 

Rasa penasaranku membuatku mencoba mengambil kotak itu namun saat aku mencoba meraih kotak itu Pak gio memanggilku beliau memberiku telfon dari Bara.

"Hallo?" suara dari telfon itu.

"Ya, hallo?" Jawabku.

"Ini Alana? Na, ini Bara." Suara dari telfon itu.

"Ya, Bar ni aku Alana. Kamu baik di situ? Ada apa ya kok telfon?" Jawabku.

Rupanya Bara tak menjawab, akhirnya aku lanjut bertanya, "Yo, katanya HP di nonaktifkan? Tapi kamu kok? Bohong ya? Loh, karantinanya udah tah? Apa lagi istirahat? Hallo? Bara? Hallo?"

"Ehm, ya maaf. Alana, baik-baik ya? Tunggu aku! Udah dulu tentornya datang nih. Assalamu'alaikum," jawab Baraa dan dia menutup telfonnya.

"Wassalamu'alaikum," jawabku.

Sejak saat itu aku tak pernah tahu kabar Bara lagi, dia tak pernah menghubungi aku lagi begitupun aku. 

Mau tak mau aku harus jalani hari-hari tanpa Bara, lagian siapa aku. Hari-hari tanpa Bara tak beda jauh dengan hari-hari yang aku jalani setelah putus dari Aksa, semua serba nggak asik.

Saking kangennya sama Bara sampe aku sering ngehayalin dia dan nggak jarang ke bawa mimpi.

 Aku sering berhayal dia mengatakan cinta dan di setiap hayalanku jawabanku berbeda-beda begitupun dengan tingkahku, salting. Hal itu sering pula bikin aku tertawa sendiri. Aneh...!!!

Meski kangen aku berusaha tegar dan berusaha untuk tak memberi tahu teman-teman yang lain. Aku tak mau mengulang hidup seperti saat-saat setelah putus dari Aksa. 

Aku masih penasaran dengan pesan Bara untuk menunggunya. Ternyata 1 bulan menunggu Bara benar menyiksa. Aku terus bertahan, berusaha berdiri tegak dan bersabar menunggu Bara.

Suatu hari aku jumpai Aksa di depan sekolahku. Aku kangen banget sama dia. Dalam pikirku, untuk apa dia ke sini? Mungkinkah dia ingin bertemu denganku? 

Rupanya dia menjemput seorang cewek, yang nggak lain teman sekelasku, Ruby. Akupun bergegas menunjukkan diri kepada mereka.

"Eh, Ruby." Sapaku.

"Alana?" Respon Ruby bingung.

Aksa memalingkan muka, mencoba mengalihkan pandanganku. Mungkin dia pikir aku tak tahu bahwa itu diriya. 

Aksa bergegas pergi bersama Ruby, dia mencoba menutupi wajahnya tapi sayangnya aku tahu siapa dirinya.

"Ehm..." Seruku.

"Ada apa ya, Na?" Tanya Ruby.

"Emm, dia siapa?" Tanyaku.

Ruby hanya diam dan seolah memberi isyarat kepada Aksa tentang sesuatu. Begitu pula Aksa, dia diam dan sibuk memalingkan muka. 

Akupun memilih untuk diam juga dan seolah menahan mereka. Setiap mereka akan melangkah pergi aku menegurnya yang akhirnya Aksa membuka helmnya dan membentakku.

"Mau kamu apa sih? Nggak usah seperti ini dong! Ternyata kamu nggak berubah ya." Bentaknya.

"Maksud kamu?" Tanyaku sok polos, sejujurnya aku mangkel.

"Biarin kita pergi dari sini! Kamu nggak perlu bikin aku tertekan, apa lagi menekan Ruby!" Bentaknya lagi.

"Oh.." Jawabku.

"Kamu itu masa lalu. Masa lalu yang nggak banget untuk di kenang, terlalu menyakitkan. Kamu kan yang mau hal ini? Kamu toh yang memulai ini? Nggak nyangka, ternyata kamu nggak sepolos yang aku kira, naif. Harusnya kamu bisa lepasin aku dan relakan aku dengan Ruby, toh kamu sendirikan yang bilang kalau kamu nggak cinta sama aku. Terus pengorbananku untuk meraih cinta kamu itu bohong, sia-sia. Kamu cuma manfaatin aku, cuma pengen hartaku aja, cuma pengen numpang beken aja. Jahat ya..!!" Bentaknya.

Aku hanya bisa menangis dan membiarkan setiap pasang mata menontonku.

"Ah.. udah ah!!" Seru Aksa melangkah pergi.

"Berarti kamu buta." Kataku tiba-tiba, Aksa menghentikan langkahnya.

"Harusnya kalau kamu memang cinta sama aku, kamu bisa merasakan apa yang aku rasakan ketika bersama kamu. Memang benar, aku yang bilang kalau aku nggak cinta sama kamu waktu itu, tapi kamu nggak ngerti. Kamu nggak bisa ngerasakan kalau aku sayang banget sama kamu. Kamu nggak tahu, betapa berusahanya aku belajar mencintai kamu. Karena aku nggak pengen ngecewain kamu. Aku nggak pengen kamu sakit. Namun semua membuatku masih sulit untuk mencintai kamu. Akhirnya aku mencoba berani mengatakan itu semua dengan banyak pertimbangan, dengan korban perasaan. Mengorbankan cinta dan pacar pertamaku yang sangat aku cinta. Harusnya aku yang membenci kamu. Aku sudah tahu. Kalau kamu sengaja membuat kesalah pahaman antara aku dengan Fio. Semua yang aku lihat tentang keburukan Fio itu rekayasa kamu. Ternyata kamu hebat, hebat banget."

"Nggak... Sama sekali nggak!!!" bantah Aksa.

Seketika suasana menjadi hening. Aku, Ruby dan Aksa sama-sama membungkam seribu bahasa. Namun tiba-tiba seseorang dari arah lain berkata, "Alana..." Aku menoleh dengan perlahan bersama dengan langkah Aksa menjauh, namun Ruby menahannya.

"Alana, sejujurnya aku suka kamu. Mau nggak kamu jadi yang spesial dalam hatiku?" tembak Bara di depan umum.

"Nggak!!!" jerit Ruby dengan isakan tangisnya. Lantas jeritan Ruby membuat semua pasang mata kebingungan, termasuk Aksa, Bara dan aku.

"Apa sih maksud kamu?" tanya Aksa kepada Ruby.

"Bara, aku sayang sama kamu. Mulai kelas satu SMP kita sekelas aku sudah suka sama kamu. Aku sengaja pendam perasaan ini karena aku yakin kamu nggak bakal pacaran sebelum lulus SMA. Aku pengen kamu jadi pacarku." Kata Ruby.

Perkataan Revipun kembali membuat kita bingung. 

sementara Bara terpaku mendengar sahabatnya sejak SMP diam-diam memendam hati untuk dirinya.

Akupun bertanya, "Lantas kenapa kamu pacaran dengan Aksa?"

Namun rupanya Aksa marah dan salah paham, "Oh, rupanya kamu sekongkol dengan Alana?"

"Apa maksud kamu? Nggak lah, ngapain." Jawabku.

"Kalian nggak perlu bertengkar! Karena ini semua kesalahanku. 1 tahun yang lalu waktu kelas X, Bara curhat kalau dia suka ke Alana, aku tahu kalau itu pertama kalinya Bara jatuh cinta. Mengetahui hal itu aku kecewa dan di tempat lesku mempertemukan aku dengan seorang murid baru, seorang cowok yang mirip banget dengan Bara yaitu Aksa. Semua yang ada di diri kalian sama. Aksa sepertinya menyukaiku dan akhirnya kita jadian. Aksa, sebenarnya yang aku cinta bukan kamu tapi Bara." Panjang lebar Ruby.

"Sejujurnya aku dan Aksa pernah pacaran. Aku deketin kamu Bara karena tiap kali aku deket kamu aku seakan kembali bersama Aksa. Aku masih cinta sama Aksa." Kataku mencoba menjelaskan semua itu.

Ternyata tambatan hatiku dan Ruby masih ada. 

Meski Aksa dan Bara dua orang yang berbeda tapi buat aku dan Ruby kalian serasa orang yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun