"Bukan soal berapa banyak pakaian yang kita punya, tapi seberapa sadar kita akan pakaian yang kita kenakan."
Pernyataan itu disampaikan oleh Patsy Perry, dosen senior pemasaran mode dari University of Manchester, sebagai bentuk keprihatinan terhadap laju industri fashion saat ini. Dalam dunia yang terobsesi dengan kecepatan dan tren, fast fashion lahir sebagai anak zaman, murah, cepat, dan selalu baru. Namun di balik kilau etalase dan diskon besar-besaran, ada dampak besar yang terabaikan.
Setiap potong pakaian yang kita kenakan bercerita. Ia bercerita tentang tangan-tangan yang menjahitnya, air yang tercurah untuk mewarnainya, tanah yang digarap demi menanam kapasnya, dan jejak karbon yang tertinggal dalam setiap prosesnya. Namun sayangnya, kisah itu sering kali terhenti di depan cermin. Dalam dunia yang bergerak cepat, kita jarang menoleh ke belakang dan bertanya: dari mana pakaian ini berasal? Siapa yang membayarnya dengan waktu, tenaga, bahkan hidup?
Fast fashion adalah fenomena global yang dibungkus dalam tren kekinian dan harga murah. Gaya ini mengusung kecepatan sebagai nilai jual utama, yakni tren berubah setiap minggu, produksi dipercepat, distribusi dimaksimalkan. Pakaian baru bisa hadir di rak toko hanya dalam hitungan hari sejak ia muncul di catwalk atau media sosial. Dalam hal ini, Zara, H&M, hingga pemain baru seperti Shein, menjadi simbol kecepatan yang memukau sekaligus mengkhawatirkan. Di balik inovasi itu, ada ketergesaan yang mengorbankan banyak hal seperti lingkungan, etika kerja, dan bahkan empati manusia.
Menurut laporan United Nations Environment Programme, industri mode menyumbang 10 persen emisi karbon global, lebih tinggi dari gabungan seluruh penerbangan internasional dan pengiriman laut. Tak hanya itu, sebanyak 215 triliun liter air dikonsumsi setiap tahun demi menopang siklus produksi ini. Bayangkan, dibutuhkan 2.000 galon air hanya untuk memproduksi satu pasang celana jeans. Air yang bisa menyelamatkan nyawa di tempat lain, justru mengalir deras demi gaya.
Namun kerusakan tidak hanya terlihat pada lingkungan. Dampaknya juga merayap ke ruang-ruang kehidupan sosial. Di Bangladesh, India, hingga Indonesia, jutaan perempuan muda menjadi tenaga kerja utama industri ini. Gaji rendah, jam kerja panjang, dan kondisi pabrik yang minim keselamatan menjadi realitas sehari-hari. Tragedi Rana Plaza tahun 2013 bukan hanya catatan kelam, melainkan alarm keras yang sering diabaikan. Saat itu, lebih dari 1.100 nyawa hilang, terkubur di balik reruntuhan pabrik garmen yang merespons permintaan dunia akan pakaian murah.
Mungkin kita merasa jauh dari semua itu. Tapi seperti kata Naomi Klein dalam bukunya No Logo, globalisasi membuat kita terhubung lebih erat dari yang kita bayangkan. Saat kita menekan tombol "beli" di aplikasi e-commerce, di sisi lain dunia ada pabrik yang menyalakan mesin jahit, air limbah yang dibuang ke sungai, dan seorang buruh yang melewatkan waktu istirahatnya.