Karena hal itu, kami saling tertawa malu. Apalagi aku yang terjatuh dan tanpa kusadari Aini melihatku saat terjatuh. Saat itu kami saling maaf-memaafkan karena pertengkaran kemarin itu.
Beberapa hari kemudian, kami bermain seperti biasa tanpa mengingat pertengkaran itu lagi. Kami menjalani rutinitas kami seperti biasa, yaitu bermain dari pagi hari sampai petang.
Pada hari Minggu, di sore hari, aku dan Aini duduk di pinggir sawah belakang rumahku sambil memandang langit sore. Di saat itu juga bundanya Aini datang dengan membawa sesuatu di kedua tangannya, yang ternyata adalah singkong rebus.
Kami memakan singkong rebus itu sambil membicarakan impian masa depan: aku ingin jadi dosen dan Aini ingin jadi polwan. Meski masa depan kami belum pasti ke sana, kami sepakat untuk tetap saling mendukung satu sama lain.
Persahabatan kami mungkin terlihat sangat sederhana, tapi itulah yang terasa berarti bagi kami.
Namun, ada satu hal yang tidak pernah kukatakan pada Aini sore itu: aku selalu percaya, jika suatu hari nanti aku benar-benar mengajar di ruang kelas, aku akan bercerita tentang langit sore di sawah belakang---tentang seorang sahabat yang membuatku yakin, mimpi apa pun akan lebih indah jika diperjuangkan bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI