Patah hati rakyat, bila dibiarkan, bisa menjadi bencana kultural. Ia akan melahirkan sinisme, memutuskan ikatan simbolik antara negara dan warganya. Demokrasi berubah menjadi panggung tanpa makna, seperti ritual kosong yang kehilangan roh. Antropologi memberi peringatan ketika simbol kehilangan makna, masyarakat mencari simbol baru. Mereka bisa mencari pemimpin alternatif, bahkan menolak sistem yang ada. Parade penolakan akan berbuah dari luka menjadi harapan.
Patah hati itu bisa menjadi energi perubahan. Dalam budaya kita, luka sering kali melahirkan solidaritas. Lihat bagaimana gotong royong muncul saat bencana, atau bagaimana rakyat saling membantu saat krisis. Patah hati ini bisa melahirkan kesadaran baru bahwa demokrasi harus dikembalikan ke akarnya, keadilan sosial, kebersamaan, dan empati.
Cinta yang tak boleh dikhianati
Rakyat masih punya cinta, masih mencintai tanah air, masih mencintai masa depan anak-anak, masih mencintai janji kemerdekaan. Tetapi cinta itu tidak boleh terus-menerus dikhianati. Jika cinta berubah menjadi dingin, maka yang tersisa hanyalah kemarahan. Dan sejarah mengajarkan, tidak ada kekuasaan yang bertahan ketika rakyat benar-benar berhenti percaya.
Rakyat telah patah hati. Tetapi dari patah hati itu lahir satu pesan budaya, pemimpin sejati, yang mampu menjaga ikatan simbolik dengan rakyatnya, tidak melupakan akar budaya kesederhanaan, menolak privilese demi solidaritas. Jika pesan ini disepelekan, maka patah hati rakyat akan menjadi doa kolektif yang mengguncang tahta kekuasaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI