Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sudah Tahu Dilarang Dokter, Koq Masih Minum Juga

23 November 2012   09:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:47 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAGI orang dari luar kampung saya, pasti akan sedikit heran jika kebetulan mendengar ada orang mengajak ngopi, tapi yang dihidangkan ternyata hanya secangkir teh plus singkong rebus, atau makanan lainnya. Padahal mestinya kalau orang ngajak ngopi, sudah tentu maksudnya minum kopi, bukan?

Malahan jangan heran pula kalau mendengar ada orang di warung membeli pisang cau, atau pisang ubi. Mungkin bagi yang pertama kali mendengarnya akan bertanya: Pisang itu adalah cau (Bahasa Sunda). Kala begitutu jadi pisang-pisang ‘kan. Begitu juga dengan pisang ubi. Baru mendengar ada pisang ubi ya?

Yang dimaksud si pembeli,pisang cau tak lain adalah goreng pisang yang pakai adonan terigu. Demikian juga dengan pisang ubi adalah ubi yang juga digoreng pakai adonan terigu. Jadi bagi orang di kampungku pisang itu identik, atau berarti gorengan. Ada-ada saja ya.

Tapi aku sendiri terkadang merasa heran dengan orang yang menawari ngopi, tapi yang dihidangkan malah susu coklat. Padahal terus terang, aku termasuk orang yang fanatik (Ehm!) dengan minuman yang satu ini. Kalau minum kopi, bagiku sudah tentu yang berwarna hitam, plus dengan aroma khas.

Untuk mendapatkan kopi yang betul-betul asli, aku harus pergi ke kota. Di sebuah toko yang khusus menjual kopi, kita dapat memilih kopi jenis robusta, atau arabica yang masih berbentuk biji. Kemudian setelah pilihan sudah dijatuhkan, oleh pelayan kopi itu akan digiling sesuai selera kita. Apa mau digiling halus, atau sedikit kasar. Suka-suka kita.

Sementara dalam keadaan darurat, baru aku minum kopi instan yang dijual bungkusan. Tapi itu pun harus tetap kopi hitam. Tidak dicampur dengan susu atau yang lainnya. Apalagi kalau campurannya itu bubuk semen, pasti aku akan menolaknya mentah-mentah.

Sejak lama aku sudah minum kopi memang. Dan secara rutin pula. Pagi-pagi, istriku pasti sudah membuatkan secangkir  kopi bila bangun tidur. Lalu saat menjelang sore, secangkir kopi yang masih mengepul pun sudah tersedia di meja. Di rumah aku dua kali minum kopi. Dan bila di luar, jangan ditanya lagi. Dalam perjalanan, bila terasa penat dan sedikit capek, aku mampir ke warung untuk sekedar menikmati secangkir kopi supaya penat di badan segera hilang.

Belakangan ini kebiasaan minum kopi sedikit dikurangi. Pasalnya aku telah beranjak tua. Dan bila kebetulan tubuhku sedang sakit, aku pergi ke dokter keluarga. Dokter itu sering menasehatiku – antara lain supaya kebiasaan minum kopi dikurangi, dan kalau bisa berhenti sama sekali. Selain itu pula karena memang telah tahu juga tentang bahaya dan manfaat kopi dari tulisan yang kubaca.

Tapi terus terang sulit sekali meninggalkan kebiasaan itu. Sesulit dengan meninggalkan kebiasaan membaca dan menulis.Hanya saja yang dapat kulakukan memang menguranginya saja. Soal umur tokh Tuhan juga yang menentukan. Yang penting asal tidak berlebihan seperti sebelumnya.

Bukankah dalam segala hal pun tidak baik kalau berlebihan ‘kan. Jangankan minum kopi, makan saja kalau kebanyakan, sudah pasti malah akan membikin kita sakit perut.

Ya. Pokoknya yang sedang-sedang saja, kata penyanyi dangdut tetanggaku, Veti Vera juga... ***

Gegerbeas, 23/11/2012

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun