"Apa boleh buat, pertahanan terakhir kami hanyalah dengan berdoa, agar kami semua terhindar dari malapetaka virus Corona yang  belum juga mereda," kata Ibu Guru itu dengan nada penuh kepasrahan.
"Mereka begitu merindukan untuk bisa belajar Sebagaimana yang ditetapkan oleh Mendikbud, dan sesuai dengan prosedur protokol kesehatan. Tapi apalah daya..." keluhnya.
Memang hal itu bukan hanya terdengar dari mulut seorang Ibu Guru yang saya temui tadi siang saja memang. Hampir sebagian besar di Kabupaten Tasikmalaya, pengadaan fasilitas perlindungan dan antisipasi penyebaran virus, berupa masker, sabun cuci tangan, hingga air bersih, apalagi dengan yang disebut Reagen RTPCR,Viral transfer media, Rapid Diagnostic test, Nasal swab, maupun ventilator,bisa jadi merupakan masalah serius yang tampaknya sangat dilematis.
Alasan klasik karena pendapatan asli daerah (PAD) Â yang minim, selalu saja mengemuka apabila perbincangan telah sampai pada masalah pengadaan fasilitas pendukung pendidikan sebagaimana yang saat ini sedang dihadapi.
Begitu juga dengan fasilitas KBM jarak jauh, sebagaimana tadi disebutkan, merupakan yang mustahil dapat dipenuhi. Kesenjangan sosial yang menganga lebar merupakan pokok masalah yang hingga saat ini belum ditemukan formula yang tepat untuk mengatasinya.
Sehingga dengan demikian, semua permasalahan yang saat ini dihadapi peserta didik maupun tenaga pendidik sendiri, khususnya di pelosok desa, kembali ke hulunya lagi.Â
Siapa lagi kalau bukan pemerintah pusat, dan dalam hal ini pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang bertanggung jawab untuk mengatasinya.
Barangkali Mas Nadiem sendiri, sebagai nakhoda di bidang pendidikan di Indonesia saat ini, dituntut untuk berpikir ulang dengan problematika yang berkaitan dengan pembangunan sumber daya manusia yang unggul, dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.
Sebab, Indonesia ini bukan hanya Jakarta dan sekitarnya saja. Melainkan di pelosok-pelosok lah yang membutuhkan perhatian khusus dibandingkan dengan perkotaan.***