Aku pun meski jarak rumah dengan mushola cukup dekat, tapi setelah duduk di bangku kekas 3 SD akupun ikut bergabung untuk tidur di mushola.
Terlebih lagi bila bulan Ramadhan tiba. Kegiatan barudak (anak-anak) tajug, demikian warga sekitar menyebut kami, anak-anak yang biasa tidur di mushola, mempunyai tugas tambahan, yakni membangunkan warga sekitar saat tiba waktu sahur.
Sementara bagiku sendiri, mushola Ar Ridho memiliki arti tersendiri, selain tempat belajar ngaji dan belajar bersosialisasi, di mushola itu juga aku mulai tergila-gila membaca komik dan cerita fiksi Sunda.
Cetitanya saat itu ada tukang sewa buku bacaan keliling yang bersrpeda dari desa tetangga. Orang tuaku, terutama ayah lah yang paling 'gila' membaca. Beliau juga yang selalu meminta tukang sewa buku untuk singgah di rumah.Â
Nah, ketika itu juga aku mulai kenal komik cerita wayang karya RA Kosasih, komik silat karya Ganes Th, Djair, dan yang lainnya. Sedangkan cerita fiksi Sunda, aku ikut memcaca setelah ayah dan ibu sudah tuntas membacanya.
Nah, kenapa aku lebih memilih membaca di mushola? Sebab di waktu-waktu siang  usai shalat Duhur suasana mushola cukup sepi. Dan aku justru akan meraaa asyik membaca tanpa ada yang mengganggu.Â
Saking asyiknya sampai tak terasa, membuat waktu buka puasa hampir tiba. Lantaran setelah lama membaca aku ketiduran, hingga terlewat menunaikan shalat Asar.
Ah, masa lalu... Tak mungkin akan terulang lagi memang. Tapi paling tidak saat mengenang masa itu, aku bisa tersenyum, dan membagikan sedikit kisah ini untuk orang lain. ***