Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Dengan Omnibus Law RUU Cipta Kerja Presiden Jokowi Semakin Tahu Watak Mereka

17 Maret 2020   19:15 Diperbarui: 18 Maret 2020   07:32 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ratusan buruh menggelar aksi unjuk rasa menentang omnibus law di Jakarta, Senin (20/1/2020). Dalam aksinya mereka menolak omnibus law yang dinilai hanya menguntungkan pengusaha dan investor serta merugikan pekerja di Indonesia. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/nz

Aksi massa penolakan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, yang sebelumnya disebut Cipta Lapangan Kerja, tidak hanya terjadi di Jakarta saja, melainkan hampir di setiap daerah media memberitakan aksi unjuk rasa yang didominasi kaum buruh itu ramai dilakukan. 

Paling tidak dengan demikian di satu sisi mereka merasa RUU yang masih berupa draft itu kurang memperhatikan hak-hak kaum buruh. Bahkan di antaranya ada juga ketentuan yang tercantum pada UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya berlaku, ternyata dalam draft RUU Cipta Kerja tidak ditemukan lagi, alias dianggap dihilangkan sama sekali.

Akan tetapi di sisi lain kita pun melihat, suatu hal yang tidak haram memang bagi setiap orang untuk mengeluarkan pendapatnya dalam kehidupan berdemokrasi.  

Bahkan untuk melakukan unjuk rasa demi memperjuangkan hak pun tak akan ada yang melarangnya, asalkan mau mematuhi segala aturan tata-cara berunjuk rasa itu sendiri, sebagaimana yang telah ditentukan, tentunya.

Hanya saja bila memperhatikan gejolak massa terkait hal Omnibus Law RUU Cipta Kerja dewasa ini, pemerintahan Presiden Jokowi pun ternyata telah berhasil menelanjangi watak bangsa Indonesia yang sesungguhnya, dalam hal ini kaum buruh, tentu saja. 

Betapa tidak, dalam kenyataannya fenomena bangsa ini belakangan ini cenderung lebih mengedepankan emosi ketimbang akal sehat dalam setiap menghadapi permasalahan yang menyangkut hajat hidupnya. 

Selain itu juga diikuti oleh negative thinking, atawa buruk sangka yang sudah jauh melewati tata-krama dan aturan, baik secara adat, agama, maupun perundang-undangan yang ada. 

Bagaimanapun, suka maupun tidak, dalam aksi unjuk rasa menolak draft RUU Omnibus Law, kata-kata pada poster yang diacung-acungkan pengunjuk rasa, selain menolak diterbitkannya Omnibus Law Cipta Kerja, juga banyak ditemukan ungkapan yang menjurus kepada ujaran kebencian yang ditujukan kepada Presiden Jokowi. 

Tidak hanya di dalam aksi unjuk rasa saja ditemukan hal seperti itu. Di media sosial pun marak penolakan yang disertai umpatan, hujatan, dan ujaran kebencian terhadap pemerintah. Dalam hal ini Presiden Jokowi sendiri yang menjadi sasaran tembaknya. 

Apabila ditelaah, semua itu tidak lepas dari peran para pimpinan organisasi buruh itu sendiri memang. Ada dugaan kuat kegiatan aksi unjuk rasa dimobilisasi dengan kekuatan politik di belakangnya. 

Apalagi jika bukan politik kepentingan pribadi maupun kelompoknya juga. Paling tidak selain untuk mengerek nama ke puncak ketenaran agar bisa sejajar dengan elit lainnya, juga disinyalir mengusung misi hasil transaksi dengan mereka yang selama ini tidak menyukai eksistensi pemerintahan Presiden Jokowi.

Sinyalemen itu adalah dengan kegiatan aksi unjuk rasa itu sendiri jika dikaji lebih dalam lagi, sebenarnya para buruh itu telah abai terhadap kewajiban mereka sendiri dalam meningkatkan kinerja dan produktivitas. Padahal di dalam perusahaan tempat mereka, ada bagian yang melakukan penilaian kinerja setiap karyawannya. 

Seharusnya para karyawan, atawa buruh sadar diri. Meskipun misalnya tidak tertulis sekalipun, sikap jujur, tekun, dan loyal dalam bekerja merupakan syarat seseorang jika ingin sukses dalam kehidupannya. 

Termasuk juga sebagai karyawan atawa buruh pada suatu perusahaan. Bisa jadi bagian penilaian kinerja pada suatu perusahaan pun akan memperhatikan setiap karyawannya dengan kriteria tersebut di atas.

Sementara ini, pekerjaan sudah ditinggalkan, menganggu ketertiban umum lagi. Dengan berkonvoi, dan berkumpul di ruang publik, maka orang lain pun banyak yang merasa terganggu aktivitasnya. Hadeuh. 

Apabila memang murni beriniat hendak memperjuangkan nasibnya, sepertinya akan lebih bijak lagi jika para pimpinan organisasi buruh itupun melakukan dialog dengan wakil rakyat (DPR) di Senayan, atawa bisa langsung ber-audience dengan Presiden Jokowi. Sampaikan segala uneg-uneg yang tidak sesuai dengan hak sebagai buruh, dan dikaji bersama agar ditinjau ulang kembali.

Kalaupun memang pihak pemerintah maupun wakil rakyat di Senayan masih keukeuh, dan dianggap tidak berpihak kepada buruh, tokh masih ada lembaga yang bakal menampung aspirasi para buruh itu, yakni Mahkamah konstitusi (MK). Itu pun kalau memang benar pemerintah sama sekali tidak peduli.

Hanya saja rasanya mustahil pemerintah bersikap begitu. Bukankah pemerintah dan DPR dipilih oleh rakyat, termasuk para buruh sendiri?

Kecuali kalau memang dugaan para buruh itu egois, lebih mementingkan hak ketimbang kewajibannya, itu lain lagi persoalannya. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun