Gaya hidup modern telah mengubah pola konsumsi anak muda. Minuman boba, kopi kekinian, hingga makanan cepat saji tinggi gula kini menjadi bagian dari keseharian. Tanpa disadari, kebiasaan ini meningkatkan risiko penyakit tidak menular, terutama diabetes melitus (DM). Dahulu identik dengan orang tua, kini diabetes semakin banyak menyerang usia muda, mengancam produktivitas generasi penerus bangsa.
Menurut WHO (2016), pada tahun 2014 terdapat 422 juta orang di dunia mengalami DM, dengan 1,6 juta di antaranya meninggal. Jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi 642 juta orang pada 2040. Prevalensi DM global naik dari 4,7% tahun 1980 menjadi 8,5% pada 2014. Data IDF (2019) menyebutkan 463 juta orang dewasa (20 - 79 tahun) hidup dengan DM, diproyeksikan menjadi 700 juta pada 2045. Sementara itu, CDC (2017) melaporkan bahwa DM juga terjadi pada usia muda. Di AS, pada 2015 terdapat 132.000 anak <18 tahun dan 193.000 anak <20 tahun hidup dengan DM. Fakta ini menegaskan bahwa diabetes kini ancaman nyata bagi remaja.
Dampak konsumsi gula berlebih tidak bisa disepelekan. Asupan berlebihan menyebabkan kadar glukosa darah meningkat. Jika terus berlangsung, tubuh kesulitan menggunakan insulin sehingga memicu DM tipe 2. Diabetes pada usia muda lebih berbahaya karena komplikasi muncul lebih cepat, seperti gangguan jantung, ginjal, saraf, dan penglihatan. Faktor gaya hidup sedentari kurang olahraga, terlalu lama di depan layar juga memperbesar risiko obesitas, yang erat kaitannya dengan diabetes. Meski faktor genetik turut berpengaruh, gaya hidup tidak sehat memegang peranan terbesar.
Pencegahan perlu dilakukan sejak remaja. Menurut Isfandari dan Lolong (2014), perilaku pro-sehat dapat mencegah penyakit tidak menular sejak dini. Kunci mencegah DM tipe 2 adalah pola hidup sehat serta menghindari kebiasaan masyarakat yang berisiko. Data BPS (2011) menunjukkan proporsi remaja di Indonesia pada 2010 mencapai 18% atau 43,5 juta jiwa, dengan 426.786 remaja usia 10–19 tahun di Surabaya. Jumlah besar ini menunjukkan potensi risiko serius. UNICEF (2011) mendefinisikan remaja sebagai individu usia 10–19 tahun, masa peralihan yang masih rentan terhadap pengaruh lingkungan.
Sayangnya, pola hidup remaja kini kurang sehat. Pramono dan Sulchan (2014) melaporkan bahwa 87% remaja gemar mengonsumsi fast food dan junk food yang rendah serat serta tinggi lemak. Jajanan sekolah maupun pedagang kaki lima umumnya minim gizi, sementara perkembangan teknologi membuat aktivitas fisik remaja berkurang drastis. Jika dibiarkan, pola ini dapat meningkatkan prevalensi DM di masa depan.
Meski demikian, diabetes bisa dicegah. Remaja dapat memulai dari langkah sederhana seperti membaca label gizi pada makanan, mengganti minuman manis dengan air putih, memperbanyak konsumsi sayur-buah, dan rutin berolahraga. Aktivitas fisik ringan seperti jalan kaki, bersepeda, atau senam dapat membantu mengontrol gula darah.
Selain kesadaran individu, peran pemerintah dan masyarakat sangat penting. Edukasi mengenai bahaya gula harus gencar dilakukan melalui media sosial yang dekat dengan anak muda. Regulasi pembatasan gula pada produk kemasan serta label peringatan yang jelas juga dapat membantu. Sekolah, kampus, dan komunitas perlu aktif menanamkan budaya hidup sehat.
Secara keseluruhan, meningkatnya kasus diabetes pada remaja adalah peringatan serius bahwa gaya hidup serba manis bisa berbalik pahit. Konsumsi gula berlebihan dan kurangnya aktivitas fisik telah menjadi kombinasi berbahaya yang meningkatkan risiko DM pada usia produktif. Namun, melalui perubahan perilaku sehat, dukungan keluarga, masyarakat, dan regulasi pemerintah, generasi muda dapat terhindar dari ancaman diabetes. Menjaga kesehatan sejak dini adalah investasi penting demi masa depan bangsa.
KATA KUNCI: Diabetes, Gula, Kesehatan, Masyarakat, Remaja.
DAFTAR PUSTAKA
Silalahi, L., (2019). Hubungan Pengetahuan dan Tindakan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2. Jurnal Promkes: The Indonesian Journal of Health Promotion and Health Education, 7(2), pp. 225-234.