Meski gagal meraih gelar Piala AFF 2020, saya kira Timnas Indonesia masih pantas mendapatkan apresiasi.
Skuad Garuda telah menunjukkan penampilan yang menjanjikan sepanjang turnamen dengan menghempaskan Vietnam, Malaysia dan tuan rumah Singapura yang lebih diunggulkan.
Faktor utama yang membuat Indonesia tampil impresif adalah sosok pelatih asal Korsel, Shin Tae-yong. Pelatih berlabel piala dunia ini mampu membangun tim menjadi lebih solid dan tentu saja menjanjikan di masa depan.
Saya termasuk yang jatuh hati dengan Shin Tae-yong. Itulah yang membuat saya akan berada di posisi paling depan untuk mengatakan bahwa Tae-yong pantas dipertahankan seusai gelaran Piala AFF 2020 ini.
Akan tetapi, saya juga sadar, bahwa cinta terhadap sosok pelatih, pemain tidak bisa melebihi kecintaan terhadap timnas.
Karena itu, saya mencoba membayangkan, kira-kira, apa yang dapat membuat Shin Tae-yong akan dipecat.
Berdasar beberapa amatan saya terhadap situasi yang pernah terjadi sebelumnya, paling tidak ada 3 (tiga) faktor internal dan eksternal yang bisa membuat Shin Tae-yong dipecat.
Pertama, terlalu lama tidak memberi gelar bagi timnas Indonesia.
Di gelaran Piala AFF 2020 ini, ada sebuah komentar menarik yang diutarakan oleh Shin Tae-yong, bahwa Indonesia akan berprestasi di tingkat dunia, dan paling tidak membutuhkan waktu 10 tahun lagi.
Saya langsung menebak, kira-kira apa yang ada di balik pernyataan Tae-yong ini. Apakah Tae-yong hendak mengatakan bahwa 10 tahun lagi baru timnas mampu meraih gelar prestisius, minimal seperti Piala AFF ini?
Saya berharap tidak demikian. Mungkin maksud Tae-yong adalah di tingkat dunia adalah lolos Piala Dunia dan sebagainya, tetapi untuk ajang dua tahunan seperti AFF saya kira akan terlalu lama menunggu, jika butuh 10 tahun lagi.
Maksud saya begini. Shin Tae-yong memang sekarang dicintai, tetapi dahaga akan gelar bagi timnas dapat mengalahkan proses yang Tae-yong sedang bangun, jika terlalu lama menunggu lahirnya gelar prestisius.
Saya kira, kita memang gampang jatuh cinta kepada pelatih bagus, karena sudah lama timnas tidak tampil menjanjikan seperti ini, tapi kita juga bukan pesabar yang akan menunggu lama untuk raihan gelar.
Lalu pertanyaannya, berapa lama waktu untuk kita perlu menunggu? Saya kira paling lama, 5 tahun. Yakni ketika Ricky Kambuaya sudah berusia 30 tahun, dan Egy Vikri dan Witan sudah berusia 26 tahun. Â Jika di masa itu, Tae-yong masih gagal, mestinya dipecat.
Paling cepat adalah di gelaran AFF 2022. Kita dapat menagih gelar juara pada Tae-yong, karena saya kira di 2022 nanti, Â Chanatip Songkrasin sudah mulai menua dan bahkan Teerasil Dangda mungkin saja tidak memperkuat Thailand. Kita berharap di saat itu, pengalaman Asnawi dkk sudah semakin matang di tangan Shin Tae-yong. Â
Kedua, akhirnya menjadi matre dan merepotkan  dengan hal-hal yang tak penting.
Sebelum Shin Tae-yong, Luis Milla sempat membuat adem hati penggemar timnas dengan gaya polesannya yang tak kalah hebat. Hanya sayang, waktu Luis Milla tidak lama, dan berakhir dengan meninggalkan beragam persoalan.
Luis Milla setelah tidak melatih lagi malah curhat tentang besaran gajinya yang mencapai 2,5 miliar perbulan itu terlambat dibayar oleh PSSI.
Saya kira wajar curhatan dari Milla ini, sebagai seorang pekerja, hanya yang ditakutkan adalah ketika Milla sebenarnya terlalu meminta fasilitas yang malah merepotkan dan membuat fokus menjadi terbelah. Â
Saya harap ini tidak terjadi dengan Shin Tae-yong. Kabarnya, gaji Shin Tae-yong di timnas Indonesia mencapai 1,1 miliar perbulan tersebut, dan besaran itu bahkan melebihi gaji Park Hang Seo di Vietnam dan jauh di atas Alexandre Polking, pelatih Thailand.
Kita tentu tidak berharap di waktu mendatang, ketika cinta kita semakin membesar terhadapnya, Tae-yong pada akhirnya meminta gaji semakin besar dan mempermasalahkan hal itu ke publik. Jika saat itu timnas tak kunjung meraih gelar, mungkin itu saatnya Tae-yong dilepas.
Ketiga, Shin Tae-yong tidak bisa merangkul para pemain.
Salah satu yang masih tanda tanya adalah apakah Tae-yong dapat menjadi pelatih yang membuat para pemain nyaman.
Sederhananya begini. Jika kita bermimpi Shin Tae-yong dapat menjadi seperti Alex Ferguson di Manchester United, yang akan cukup lama membesut timnas, pertanyaannya adalah apakah para pemain menyukai gaya melatihnya.
Ini masih tanda tanya, karena di awal kepelatihannya, Tae-yong dianggap gagal melakukannya.Â
Media bahkan paling banyak menyorot tentang Tae-yong yang sering meremehkan para pemain dan memiliki relasi yang kurang baik dengan para asistennya.
Apa pedulinya dengan kenyamanan para pemain? Kita memiliki masa depan yang cerah dari pemain muda seperti Asnawi, Witan, Egy dan lainnya. Tidak mudah membimbing para pemain ini, perlu pendekatan spesial, seperti cara Ferguson mendidik David Becham, Paul Scholes dkk di jamannya.
Dalam buku The Legends Leadership Sir Alex Ferguson, skretaris Ferguson mennceritakan bahwa meski ketas, Ferguson dikenal  sebagai orang yang sangat perhatian terhadap orang lain, baik pemain ataupun staf. Dia bisa menjalin relasi personal dengan sangat baik.
Kita tentu berharap itu bisa dilakukan oleh Shin Tae-yong di timnas.Â
Jika pada akhirnya gagal, bisa saja akan berdampak pada penerapan taktik dan hasil di lapangan dan jikalau hal itu terjadi, dan berdampak sangat besar, maka dapat berarti waktu Tae-yong sudah usai.
Ketiga hal ini tidak bicara soal taktik, karena saya yakin jikalau bicara tentang itu, Tae-yong sudah mumpuni. Inipun bukan seperti patokan mati bahwa Tae-yong akan melakukannya suatu saat, karena bagaimanapun, prestasi lebih penting daripada hal-hal seperti ini. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI