Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Khayal Bila Timnas Indonesia Main Di Euro 2020

4 Juli 2021   23:51 Diperbarui: 5 Juli 2021   05:54 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Fans Denmark bereaksi selama pertandingan babak 16 besar kejuaraan sepak bola Euro 2020 antara Wales dan Denmark di Johan Cruyff ArenA di Amsterdam, Belanda, Sabtu, 26 Juni 2021. (Olaf Kraak/Pool via AP)

Tidak masuk akal, tidak rasional, kocak. Mungkin begitu pikir anda, sesudah membaca judul tulisan ini. Bagaimana mungkin Indonesia yang jauh di Asia, di Tenggara, lagi sulit minta ampun nembus kualifikasi level lokal saja, dapat main di Eropa?

Jangan serius dulu, ini hanya tulisan ringan gegara status Facebook Kang Pepih. "Kesel gue, masak tiap euro digelar yang masuk final negara eropa mulu". Begitu tulis founder Kompasiana itu, yang memang kerap menghibur melalui candaan di status FBnya.

Hanya memang yang tidak rasional saat ini, bukanlah tak mungkin di masa mendatang. 

Turnamen di wilayah kontinental tertentu---termasuk Eropa, bisa dihadiri oleh negara di kontinen berbeda. Bahkan sebenarnya sudah terjadi. Tidak usah jauh-jauh, Australia saja sekarang sudah main di Piala Asia.

Lha, kan, deket. Begitu kira-kira argumen logis yang bisa diberikan. Okay, sekarang saya kasih tahu fakta lain. Pernah tahu kan, Jepang, ya Jepang, negara sakura itu,  Jaman Copa America 1999, Jepang sudah bermain di Amerika Latin sana, jadi kontestan Copa America.

Nostalgia sedikit dulu ya. Jaman itu, saat itu Copa America diselenggarakan di Paraguay, Jepang datang sebagai tim undangan.

Skuad Nippon, saat itu dibesut oleh pelatih asal Prancis, Philipe Trousier. Jika ada yang ingat, waktu itu Jepang mengandalkan striker naturalisasinya asal Brasil, Wagner Lopez. Lopez mencetak beberapa gol saat itu.

Ada juga, Hiroshi Nanami, pemain nomor 10 yang bermain di AC Venezia dan Sergio Nakazaki, kiper utama Jepang yang wajahnya mirip aktor terkenal, Takeshi Kasimura, eh salah ding, Kaneshiro.

Hasilnya memang luar biasa, tetapi sudah diperkirakan. Jepang pulang kembali ke Jepang dengan nihil, nol besar. Memang sih, Jepang sempat menahan imbang Bolivia, tim jago kandang karena ketinggian La Paznya, tapi lemah shawat saat bermain di luar negaranya.

Sesudahnya, Jepang dipermak Peru dan Paraguay, sang tuan rumah. Paraguay sendiri memang lagi tokcer saat itu.

Masih bermain bagi Paraguay saat itu, striker Bayern Munich, Roque Santa Cruz, Nelson Cuevas dan pemain belakang yang terkenal jaman PS 1, Fernando Arce. Pecinta PS 1, mungkin ingat tentang Arce ini yang  masuk skuad bintang Amerika di PS 1, dengan Carlos Valderamma, Diego Maradona dll.

20 tahun kemudian, Copa America 2019 kembali memanggil Jepang, kali ini ditemani negara Asia lainnya, Qatar.

Mau tahu alasan mengapa Jepang dan Qatar dipanggil?  

Kisahnya sama dengan Copa America 1999. Pertama, karena alasan marketing alias promosi Copa America pada penonton Asia. Saya kira masuk akal, tontonan Copa America memang sangat ramah bagi yang lemah begadang. Jika Indonesia tampil di sana, Copa yang main pagi hari, bisa membuat banyak orang absen masuk kantor.

Kedua, alasannya juga karena jumlah kontestan Copa America yang aslinya memang tak banyak.

Negara undangan membantu agar pembagian grup lebih mudah dan adil, dengan jumlah negara di setiap grup yang sama.

Misalnya kontestan hanya sepuluh dan perlu empat grup, maka dipanggilah tambahan dua negara, biar jadi 12 kontestan.

Makanya sebelum-sebelumnya, Meksiko dan Kosta Rika, bahkan Amerika Serikat juga pernah diundang, dengan alasan yang sama, biar rame, biar lengkap.

Nah, bagaimana nasib atau hasil Qatar dan Jepang di Copa America 2019? Bulan-bulanan, ada bulan purnama dan sabit, bulan-bulanan deh. Lha, Argentina yang diperkuat  Messi, Aguero, Di Maria segrup dengan Qatar, dan tak mau kasih ampun, padahal sudah datang jauh-jauh, diundang pula.

Timnas Jepang? Jepang apalagi. Segrup dengan Chili, yang diperkuat Alexis Sanchez, Arturo Vidal dan Uruguay yang bercokol Luis Suarez dan Edinson Cavani, Jepang ya begitulah. Sempat seri dengan Uruguay sih, tapi tetap jadi juru, juru kunci. Kasihan juga.

Saat itu, kehadiran tim-tim luar sebenarnya juga sempat menuai kritik dari internal Amerika Latin. Katanya, kehadiran Jepang, Qatar, Meksiko dan lain-lain menciderai integritas  Copa America.

Apa itu menciderai integritas?

Oalah, maksud sebenarnya adalah Copa America harus dijaga marwahnya, agar jangan sampai negara di luar kontinen ini, pada suatu saat yang menjadi juara, jangan sampailah kejadian memalukan itu, kira-kira itu maksudnya.

Nah, sekarang klop kan. Makanya, Jepang dan Qatar yang diundang, bukan, negara Eropa, seperti Inggris, Jerman,  Italia atau bahkan Portugal.  

Nah, jika diundang, lalu juara, dimana muka Argentina yang sulit juara di era Lionel Messi ini.

Mamamia, apalagi membayangkan Portugal datang dengan Christiano Ronaldo lalu menjadi juara, dan Ronaldo menjadi top skor.

Ketika hal itu terjadi maka (lagi-lagi) Argentina tersedu-sedu, dan harus menerima kabar bahwa Messi yang muram akan pensiun (lagi). Realita yang menyakitkan bagi tim tango. Amit-amit jabang-jabang, jangan sampai hal itu terjadi. Integritas Copa seperti dicabik-cabik.  

Tetapi, ya itu,  disitulah peluang untuk Timnas Indonesia tampil di Eropa atau mungkin Copa America. 

Soal integritas copa, bahwa ada ketakutan beberapa pihak bahwa timnas negara yang diundang akan menjadi juara, saya pikir, jangan kuatir, beberapa turunan, itu tak akan mungkin terjadi.

Soal marketing apalagi, dipastikan jutaan orang akan menonton laga ini dan kapan lagi melihat Evan Dimas bertukar kostum dengan Messi, Neymar atau Edgar Velencia, striker Ekuador yang urakan itu seusai laga.

Jika menjadi undangan itu harus ada fulus banyak dan membutuhkan suntikan dana yang besar, saya pikir bisa. Bos Rans Cilegon, dan Persis Solo mungkin bisa mengaturnya.

Nah, itu Copa America, bagaimana jika membayangkan Timnas Indonesia tampil di Euro 2020?

Ini akan terlihat sangat hebat, tidak usah macam-macam berharap, menang apalagi, tapi catatan sejarah akan terukir bahwa Indonesia pernah melawan Jerman, Italia, Inggris atau bahkan Ukraina. Lawan yang tak pernah dihadapi selama ini.

Pernah dengar lelucon dari Cak Lontong kan yang seperti ini;  Timnas Indonesia itu hebat, tak pernah kalah dari Brasil, Jerman dan Italia. Karena apa, karena Indonesia belum pernah sekalipun main dengan tim-tim itu.

Nah, inilah kesempatan terbaik agar membuat lelucon itu tak diulang-ulang Cak Lontong melulu. 

Jika tampil di Euro 2020 pun, tak usah ada target muluk-muluk. Shin Tae Young, tak usah menggeber fisik yang berlebihan, karena digeber pun akan sulit menang.

Nasihat agar jangan makan mie goreng disana juga, tak perlu, karena disana akan sulit juga mendapat mie goreng, apalagi nasi goreng. Mungkin hanya akan makan Szalai, racikan khas di Azerbaijan, Baku, untuk makan dengan roti. Selai maksudnya.

Akan tetapi gunakan ini sebagai kesempatan reuni atau juga memperkenalkan budaya Indonesia. 

Egy Vikri misalnya, akan bertemu dengan Robert Lewandowski, dan Wocjiech Scezny, memperkenalkan diri sebagai pemain yang baru dilepas oleh klub kasta teratas Polandia,  Lechia Gdansk.

Jika beruntung, bisa saja Lewagol merekomendasikan Egy bermain di Muenchen U-20, dan Scezny mendorong Egy untuk melamar ke Juventus U-23 yang bermain di Seri C.

Bisa saja skenario yang sama terjadi saat melawan Italia. Pemain kita saat bertukar kostum dengan Donnaruma, atau Chiellini meski kebesaran kostumnya akan bercerita tentang masa jaya Primavera dan Bareti, dua program pemain muda yang jaya di Italia pada 1990-an.

Lalu Marco Verrati, Jorginho bingung, apa itu Primavera? Dalam kebingungan mereka lalu datang Roberto Mancini, yang meski sedikit lupa, tapi ingat, karena dahulu Kurniawan Dwi Yulianto dan Kurnia Sandi pernah magang di Sampdoria. Jaman Mancini dan Attilio Lombardo masih sering dorong bola ke gawan lawan. Ngegolin, maksudnya.

Tak lama kemudian datang Shin Tae-Young, lalu bertukar taktik bermain dengan Mancini, dan akhirnya Timnas Indonesia menjadi sangat hebat, juara di setiap kompetisi yang diikuti, Copa America atau bahkan Euro. 50 tahun kemudian.

Soal bertukar kostum itu pasti. Kapan lagi, bisa bertukar kostum dengan Yarmolenko, Yeremchuk atau Karatzev. Ini berlipat gunanya, karena jangan kuatir, jika hilang di jemuran kostum kuning itu, yang ngambil juga akan bingung sendiri, pemain darimana ini.

Soal kampanye budaya juga akan hebat. Jepang itu meski menurunkan tim U-23 di Copa America 2019---karena mungkin sudah tahu akan kalah, dipuji habis-habisin karena budaya bersih-bersihnya.

Ruang ganti pemain Jepang sangat bersih, selain itu bench pemain juga demikian, setiap pemain Jepang bertanggungjawab untuk kebersihan, dan sangat sopan. Tulisan arigato dituliskan kepada para panitia yang mengurus akomodasi mereka.

"Makasih mbak, mas di Brazil sini". "Maturnuwun". Nah, kita bisa copy paste cara Jepang itu.

Lalu, budaya kita yang sopan itu diceritakan dan akan dikenal di seantero dunia, sama seperti kesopanan kita mempersilahkan lawan di lapangan hijau membobol gawang kita. 

Tak mengapa, itu akan tetap hebat, tak semuanya dapat dinilai dari materi kan---tidak nyambung. Titik.

Pang. Bunyi buah mangga jatuh di atap rumah. Bayang-membayang lalu lenyap seketika. Ronaldo? Messi? Timnas Indonesia? Ahaae.....menghayal itu memang nikmat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun