Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money

Manipulasi Informasi Berbuah Krisis

25 Agustus 2015   01:12 Diperbarui: 28 Agustus 2015   14:43 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Picu dan Tularan

Penurunan 531 poin yang terjadi pada indeks bursa DJIA (Dow Jones Industrial Average) Jumat, 21 Agustus 2015, ibarat pelatuk memicu kecemasan bursa Asia pada Senin, 24 Agustus 2015. Indeks di bursa Shanghai langsung turun 8.5% dan Bursa Efek Jakarta terkena demam ikut berpartisipasi turun hampir 4%. Bagai orkestrasi bernada minor, kurs tukar mata uang di Asia juga “nyem-plunge” kecuali Yen Jepang. Nilai tukar Rupiah terhadap USD saat penutupan perdagangan 24 Agustus 2015 berada pada kisaran 14.000 dan Indeks Harga Saham Gabungan berada pada angka 4.163.

Banyak komentar dan kritik terhadap Bank Indonesia sebagai pengawal moneter juga terhadap pemerintah terhadap kondisi yang terjadi. Tetapi jika dilihat dengan jeli dan dari kajian, tindakan yang dilakukan Bank Indonesia sudah tepat dengan tidak ikut arus tetapi melakukan penanganan gejolak dengan tenang serta elegan. Demikian juga pemerintah, yang tidak banyak mengeluarkan pernyataan yang justru dapat menimbulkan tambahan gejolak.

 

Strong Dollar dan Spiral Deflasi

Pasca Financial Crisis 2008, The Fed USA meluncurkan kebijakan Quantitative Easing (QE) dan akibat kebijakan tersebut tersedia dana murah dalam USD yang mengalir deras bukan hanya di dalam USA tetapi juga ke Asia dan  bagian dunia lainnya. Setelah 2-3 tahun, perekonomian US berangsur pulih dan pengangguran pada triwulan pertama 2015 berada pada tingkat terendah. Sejalan dengan membaiknya perekonomian, USD menjadi kuat (Strong USD) dan US menjadi sasaran tujuan ekspor berbagai negara. Persaingan perdagangan internasional mendorong terjadinya Perang Mata Uang (Currency Wars) yang tidak lain devaluasi (menurunkan nilai tukar mata uang) dengan tujuan memenangkan persaingan untuk meningkatkan ekspor. Kondisi harga komiditi termasuk minyak mentah turun dalam waktu panjang (deflasi), membuat penerimaan negara berkurang. Penurunan penerimaan berdampak pada penurunan impor yang secara agregat menurunkan permintaan dunia dan menekan ekspor. Turunnya ekspor menyebabkan supply berlebih dan berdampak penurunan harga pada pasar domestik sehingga kembali terjadi deflasi. Demikianlah kondisi Strong USD menekan ekspor produk US dan selanjutnya menurunkan kinerja korporasi.


Pada sisi lain, The Fed sejak 2014 berencana menaikkan suku bunga acuan yang terus tertunda. Kenaikan suku bunga acuan akan berdampak USD mengalir balik dan membuat tekanan pada mata uang negara lain sehingga USD diprakirakan menjadi semakin kuat. Sikap Board of Governors of US The Fed yang terus menunda kenaikan suku bungan acuan menimbulkan ketidakpastian. Alasan penundaan yang paling dapat diterima adalah pada kebenaran dan akurasi informasi kondisi perekonomian US khususnya pada angka pengangguran dan kinerja korporasi.

 

Pertumbuhan Semu

Perekonomian Tiongkok yang pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) pernah mencapai dua-digit (di atas 10%) sejak 4 tahun terakhir memasuki tahapan resesi (pertumbuhan menurun) dan pada 2014 hanya berada pada angka 7,4%. Pada dua triwulan pertama 2015, pemerintah Tiongkok menyatakan pertumbuhan ekonominya masih berada pada angka 7%. Melihat kondisi perekonomian dunia, angka pertumbuhan yang diklaim pemerintah Tiongkok diduga tidak mewakili keadaan sesungguhnya. Bahkan diprakirakan pertumbuhan Tiongkok di bawah 5%. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebelumnya didorong gencarnya pembangunan infrastruktur dan industri. Pada saat yang bersamaan, masyarakat tidak terdorong untuk meningkatkan konsumsi dan lebih suka menabung. Pada satu sisi, tabungan dapat memperkuat pendanaan tetapi pada saat pembangunan insfrastruktur telah jenuh, maka konsumsi harus dapat menggantikannya. Upaya mengubah struktur pertumbuhan ekonomi dari berbasis investasi dan pembangunan infrastruktur menjadi konsumsi belum terwujud sehingga menekan pertumbuhan. Tersedianya infrastruktur yang melebihi kebutuhan menimbulkan masalah pada pengelolanya yaitu badan usaha milik pemerintah (State Owned Enterprise atau SOE). Sementara, saat pembangunan, dana didapat dari pinjaman pemerintah sehingga masalah utang SOE bak bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak. Upaya mendapatkan dana melalui pasar modal (program privatisasi) adalah salah satu cara untuk meringankan beban utang SOE. Tetapi badai Juni yang terjadi pada Bursa Shanghai dan kelanjutannya membuat strategi pemulihan SOE menjadi tersendat. Penurunan ekspor akibat “Currency Wars” menggoda Tiongkok untuk melakukan devaluasi mata uangnya (CNY). Sementara, penurunan ekspor akan menyebabkan oversupply pada pasar domestik yang berdampak kembali ke perusahaan. Kondisi di atas menyebabkan kepercayaan terhadap perekonomian Tiongkok turun.

 

Kondisi Domestik

Tersedianya dana murah jangka pendek mendorong dunia usaha dan korporasi di Indonesia berutang dalam mengejar pertumbuhan usaha (Debt Leverage). Sayangnya utang tesebut tidak dilakukan berdasarkan suatu perencanaan yang matang dan tanpa disiplin lindung nilai. Saat harga komiditas yang merupakan andalan ekspor turun, dan Rupiah mengalami depresiasi, maka tekanan berbalik ke neraca perusahaan yang berutang. Rerata depresiasi yang terjadi antara 12-15% membuat sisi kewajiban bertambah lebih dari 40% untuk waktu 3 tahun. Sementara harga cenderung stabil dan permintaan tidak naik atau bahkan turun membuat kondisi perusahaan makin tertekan. Lantas pertanyaannya untuk apakah utang tersebut digunakan ? Salah satu cara melihatnya adalah pada Neraca Perusahaan. Jika beban bertambah pada kewajiban sedangkan pertambahan pada sisi harta (asset) banyak terjadi pada harta tetap (fixed assets) maka dapat diduga pinjaman digunakan untuk spekulasi. Upaya perusahaan yang berutang untuk membayar utangnya (dalam mata uang asing) malahan meningkatkan permintaan USD dan membuat kurs tukar makin naik atau menimbulkan depresiasi.

Kondisi yang tidak jauh berbeda pada perbankan yang menanggung sekitar 45% dari seluruh utang luar negeri. Banyaknya dana masyarakat yang disimpan di bank (tabungan atau deposito) membuat kewajiban bank terus bertambah sementara ekspansi kredit cenderung rendah (pada kisaran 12-15 %). Dengan kondisi perekonomian tertekan perbankan akan hati-hati dalam menyalurkan kredit. Sehingga untuk peningkatan pendapatan, dana yang tersedia berlebih akan sangat menggoda untuk dibiakkan melalui pasar uang atau forex trading. Kondisi demikian malah membuat kurs semakin tertekan.

 

Manipulasi dan Buah

Penundaan keputusan The Fed akibat keraguan terhadap informasi perekonomian US. Demikian juga kebenaran informasi perekonomian Tiongkok yang terkesan menutupi keadaan sesuangguhnya. Sementara kondisi perekonomian Indonesia, masalah utang dan transparansi informasi atas kondisi korporasi dan perbankan menyebabkan keraguan akan pertumbuhan ekonomi.

Belajar dari kondisi US, Tiongkok, dan domestik, ketidakjujuran atau manipulasi informasi akan berbuah KRISIS.

It's the same old story !

 

25 Agustus 2015 – Arnold Mamesah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun