“So pasti. Paling kalau gak sanggup, di sekolah, banyak kok yang sudah siap.“ gelak Lina.
               “Anjirr, malas banget kau jadi cewek. Ya sudah, aku mau undur diri dulu, ya. Bye bye.“ Shanty men-stater sepeda motornya lalu memelesat jauh.
               Lina membuka gagang pintu rumahnya dan perlahan masuk. Diletakkan sepatunya, berjalan menuju ruang tamu. Di sana, ibunya fokus menonton sinema India yang akhir-akhir ini sedang populer.
               “Bu, Lina pulang.“
               Salam Lina pun tak dihiraukan ibunya. Tatapannya tak beralih sedikitpun dari layar TV.
               “Hmm, dasar pecinta sinetron.“ omel batin Lina.
               Dengan langkah agak lemah, Lina terus berjalan menuju kamarnya. Sekarang, dia sudah berada di depan pintu kamarnya. Lina tercekat. Ia teringat kejadian tadi siang membuatnya ragu membuka gagang pintu. Dipupuknya keberaniannya menyentuh gagang pintu.
               Tek!
Didorongnya gagang pintu dan terbuka. Tangannya meraba-raba, mencari sakelar lampu kamar. Ditekan tombol itu dan kamar tampak terang benderang. Tema kamar yang didominasi warna orange dan poster boyband–girlband Korea seperti Super Junior, SNSD, Five Generation menempel di dinding. Tak ada sesuatu yang aneh seperti yang dipikirkannya.
Lina menarik bangku yang berada di dekat meja belajarnya. Ia duduk sambil membuka resleting tasnya. Lina mengambil hasil jepretan foto di restoran tadi. Ia mengamati ekspresi teman-temannya di dalam foto. Lina mengacungkan dua jarinya. Fanny menirukan tawa Yao Ming. Dan Shanti, hanya mengulas senyum kecil. Puas diamatinya foto itu, Lina menyimpannya dalam laci mejanya. Kemudian, ia menyalakan lampu sorot, membuka buku pelajaran yang sedari siang sudah diletakkannya di meja.
Namun ia tak menyadari, sebuah siluet hitam pelan-pelan timbul dari foto itu. Mulanya tipis kemudian sedikit tebal, menutupi seluruh permukaan tubuh Shanti.