Mohon tunggu...
Riena Armaini
Riena Armaini Mohon Tunggu... Administrasi - Guru di SMKN 8 Bandung

Simple tapi penuh warna warni. . . .

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lentera Hati (1)

7 Agustus 2012   23:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:06 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bapak. . .Aku adalah anakmu yang tidak berbakti, tak bisa berbuat apa-apa melihat ketidakberdayaanmu melawan selang-selang infus itu. Bapak. . apa yang kini harus kulakukan? aku hanya bisa membawamu pada tempat yang sama sekali kaubenci. Hanya itu yang bisa aku lakukan...
Sore itu, aku kembali tepekur di samping bangsal rumah sakit. Bapak terbaring di sana dikelilingi selang infus, oksigen, dan selang - selang lainnya yang mengerikan. Sebuah erangan kesakitan keluar dari sela-sela mulutnya yang juga dijejali selang. Oh Tuhan... aku tidak tega melihatnya demikian, apa yang harus kulakukan? Bisakah Kau tumpahkan saja segala penderitaan Bapak kepadaku? Kamar putih itu membuat aku mual, ditambah bau obat-obatan yang menusuk hidung. Aku pikir, sangat tidak bijaksana jika bapak ada disini. Bau obat ini akan membuat bapak semakin tidak baik kesehatannya.
Kelebat penyesalan demi penyesalan mengelilingi kepalaku, yah..aku menyesal Bapak. Sudah dua minggu bapak terbaring disini, tanpa ada kemajuan sedikitpun, dua minggu yang lalu tak nampak sedikitpun kalau bapak akan separah ini. Seperti biasa, bapak selalu melakukan rutinitasnya.
"Stroke!" ulangku setengah memekik, ketika dokter mendiagnosis penyakit Bapak."Dokter serius?" aku malah bertanya menyepelekan analisa dokter yang selama ini merawat bapak. Tanpa terasa air mataku meleleh tak dapat dibendung. Ya Tuhan... inikah yang Kau mau?
Bapak.. oh bapak...Mata itu mengisyaratkan banyak hal...
***Kulalui segalanya dengan bapak, dia lah yang selalu memahamiku. Dia lah yang selalu memberiku semangat, walau kadang-kadang aku menilainya berlebihan. "Kamu memang anak emas, Wi..! beberapa kali kakak dan abangku menyatakan hal itu. Aku hanya tersenyum, mereka pikir aku selalu diperlakukan istimewa oleh bapak, tapi aku percaya apa yang dijelaskan mama, bahwa bapak sama sekali tidak membeda-bedakan kami. Hanya mungkin karena Bapak lebih sering berdiskusi dengan aku sehingga kami menjadi dekat.

Bapak, adalah orang yang sangat cerdas, walau tidak ditunjukkan dalam ijazah. Pengetahuannya tentang politik, ekonomi, budaya bahkan ilmu kehidupan sangat dikuasai. Aku bisa betah berjam-jam bila sudah ngobrol dengan Bapak... sangat menyenangkan. Beliau sangat kritis, aku salut padanya. Mungkin jika waktu memberinya kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi, mungkin Bapakku adalah seorang politikus ternama, atau dokter yang bertangan dingin, atau budayawan terkenal, atau profesi lainnya yang sangat keren dan aku yakin pasti sangat sukses. Hmm...tapi tidak, Bapakku hanya seorang penjahit. Penjahit yang bertangan halus.
Ya.. Bapak hanya seorang penjahit yang beranak banyak dan berjuang keras untuk menjadikan semua anaknya sukses.
Bertahun-tahun hidup demi anak-anaknya, tanpa sedikitpun menyempatkan diri untuk menikmati hidupnya. Kini semua anaknya telah menikah, walau beberapa diantara kami tidak menunjukkan taraf sukses yang Bapak inginkan. Tapi aku katakan bahwa Bapak sangat sukses membesarkan kami dengan jiwanya.
Sore itu kembali kupandangi wajahnya yang terlihat keriput, Bapak... apa yang bisa kulakukan untuk mengurangi penderitaanmu? Mata itu memandangku penuh arti, aku tahu Bapak, kau tidak suka tinggal disini, tapi tidak mungkin Bapak diobati di rumah jelasku. Bapak pun mengalihkan pandangannya ke sekeliling ruangan dan memejamkan matanya.
Tampak wajahnya yang keriput menggambarkan rasa sakit yang dideritanya. Tubuhnya hanya tinggal tulang yang menyelimuti tulang.
"Bapak sudah bangun Wit?"  sebuah suara tiba-tiba muncul mengagetkanku. Hmm... ternyata bang Bayu."Iya, baru saja" jawabku singkat
Bang Bayu kemudian duduk dipinggir bapak, disentuhnya tangan bapak. "Pak, aku datang!" bisiknya. Terdengar lenguhan pelan disela bibir bapak, jari-jari tangannya sedikit bergerak. "Aku mau minta izin bapak untuk menjual tanah dan rumah bapak" bisik bang Bayu lagi sangat pelan namun seperti suara yang menggelegar ditelingaku.
Bapak hanya diam mendengar tuturan bang Bayu, namun kulihat ekspresi wajahnya sungguh sangat mengguratkan kemarahan. Apa yang dipikirkan oleh abangku yang satu ini? ah...
"Bang... bapak sakit, tolong jangan membahas itu sekarang?" potongku cepat" Harus Wit, kalau tidak, mana uang buat biaya bapak di sini" jawabnya dengan suara yang sedikit meninggi."Buat apa dari menjual rumah bang!" suaraku juga jadi meninggi"Emang dari mana lagi?" suara bang Bayu tambah meninggi dan aku tak snggup lagi meneruskan perdebatan ini. Aku keluar ruangan dan segera menyusuri lorong-lorong rumah sakit swasta yang ternama ini. Di pelataran parkir aku kembali memperhatikan rumah sakit . Baru beberapa hari bapak di tempat ini memang cukup menguras keuangan kami,  tanpa ada sedikit kemajuan. Kami mungkin kehabisan dana, tapi apakah dengan menjual rumah bapak adalah penyelesaian yang benar? Aku tak tahu.
Kujejakkan kaki di angkot yang melintas, aku harus pulang dan mediskusikan hal ini dengan kakak dan adik yang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun