Sang pembawa acara dan penonton di studio tertawa ringan, begitu juga aku. Dialog selanjutnya berlangsung menyenangkan karena mulai membahas sederet prestasi yang ditorehkan seorang remaja putri tunanetra. Begitu juga ontologi dan novelnya yang menjadi Best Seller of the Year.
Lia, di akhir acara  ini sekaligus di ujung tahun, adakah yang ingin disampaikan? tanya sang pembawa acara.
"Terima kasih Om. Dari semua yang Lia alami, mulai dari kelahiran dalam gelap, kehilangan Papa dan Mama,  kehidupan di panti sampai Lia bisa hadir di sini.  Semua adalah bagian dari siklus kehidupan," jawab Lia.  Tapi dia berhenti sebentar, mengatur nafas  sambil menerawang jauh ke masa lalu.
"Tolong direnungkan Om, buat kita semua. Â Kehidupan Lia bersama sahabat senasip di panti asuhan Kasih Bunda, bahwa susah dan senang, gembira maupun sedih, membuktikan bahwa tidak ada permusuhan agama. Tidak ada pertentangan agama. Yang ada hanya keserakahan, kerakusan dan ketamakan atas harta dan kekuasaan yang bertopeng agama!"
Sang pembawa acara terperanjat, waswas apabila keluar peryataan lanjutan dari narasumbernya yang berpotensi kontroversial. Begitu juga diriku di depan layar TV, maka segera  ku rendahkan volume suara TV dengan menekan  tombol manual. Tapi setelah dipikir-pikir itu hal percuma  karena masih banyak pesawat
TV di luar sana, belum lagi siaran TV streaming atau nanti pun muncul di YouTube.
Dugaanku dan presenter itu keliru. Lia menghentikan bicaranya sementara penonton di studio bertepuk tangan riuh.
Lia meminta izin berdiri dan meminta kamera fokus padanya dan close up. Sebentar kemudian layar kaca di hadapanku menampikan wajah seorang gadis remaja jelita dengan tatapan menerawang. Namun pandangannya itu terasa mengarah dan menghujam jiwaku.
"Syair akhir tahun untuk Tante, Papi dan sahabatku seperjuangan," tuturnya pelan.
Kasih adalah tetesan embun, yang menumbuhkan benih-benih terserak tanpa induk.
Kebersamaan adalah tungku, yang memasak dan menghangatkan buliran padi sebagai hidangan bermanfaat bagi manusia.