Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[MIRROR] Lain Dunia: Sebuah Acara Uji Keberanian di Televisi

20 Desember 2011   08:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:00 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: AK Basuki (No.157)

Aku tengah menjalani syuting malam kedua sebagai peserta uji keberanian untuk sebuah acara televisi. Dibekali dua batang lilin, tikar, sebotol air mineral dan makanan kecil, tempatku menjalani uji keberanian episode ini adalah sebuah lobi hotel yang lama terbengkalai dan sering disebut-sebut sebagai tempat terangker di kotaku.

"Bulu kuduk saya meremang," kataku sambil memperbaiki posisi helm berkamera di kepala. Peserta memang diharapkan sekomunikatif mungkin untuk memberitahu pemirsa mengenai apa yang dirasakan. Dan kini aku memang merasakan suasana yang berbeda dari malam sebelumnya. Sejak lampu padam dan kru terakhir pergi, bagian belakang leherku seketika meremang. Bahkan sampai kira-kira lewat satu jam, itu masih saja terasa.

Tiba-tiba aku mendengar suara. Hanya beberapa detik lalu hilang.

"Tuh, tuh, tuh...dengar tidak? Ada suara dari sana," kata saya menunjuk meja resepsionis di belakang satu dari empat kamera infra merah yang dipasang di empat penjuru, "Anak kecil ketawa."

Kukumpulkan keberanian lalu bangkit meraih lilin. Aku tidak ingin diam saja. Acara ini akan disiarkan ke seluruh Indonesia dan aku tidak mau terlihat seperti penakut.


"Saya mendekat." Lilin kuangkat rata bahu dan berjalan mendekat. Mataku mencari-cari.

Tak ada apa-apa.

Rasanya penasaran ingin mencari di balik meja resepsionis itu, tapi aku ragu. Bagaimana jika sesuatu tiba-tiba melompat dari balik sana? Atau ada tangan yang tiba-tiba muncul menarikku?

Aku bergidik.

Bayangan-bayangan seperti itu sangat menakutkan. Maka kuputuskan melihat sekeliling saja untuk sekedar meredakan ketegangan. Juga, karena aku tengah disorot kamera, aku ingin terlihat sebagai pemberani dan cool jika episode ini kelak ditayangkan.

Aku berjalan memutar.

Lobi hotel ini memang tidak terawat. Di samping lembab dan pengap, barang-barang seperti meja, kursi serta pot-pot kosong dikumpulkan dan ditumpuk begitu saja di sudut kiri, dekat pintu masuk. Kesanalah aku mendekat sekarang.

Pandanganku langsung tertumbuk pada sesuatu.

Awalnya kupikir itu adalah kain yang disampirkan untuk menutupi sesuatu di bawah tumpukan meja dan kursi, tapi aku sendiri tidak ingat pernah melihatnya sebelum lampu dipadamkan. Beberapa menit lalu pun tidak.

Jantungku berdebar aneh.

"Saya....melihat sesuatu...seperti kain. Tadi tidak ada," kataku. Kusorongkan lilin lebih ke depan dan maju mendekat. Tanganku meraihnya...

Rambut!

Rambut yang entah putih entah abu-abu, panjang, tebal, kasar dan bergulung-gulung seperti tak berujung sehingga mengingatkan pada tumpukan ijuk di rumah kawanku yang biasa dipakai untuk membuat sapu. Terdengar suara perempuan mengikik sewaktu rambut yang sedang kupegang itu terenggut dan lepas tiba-tiba....

Aku terlonjak ke belakang. Celakanya, api lilin padam!

Instingtif dan panik, aku berlari kembali ke tempatku. Mataku memang belum kembali terbiasa dengan kegelapan tanpa cahaya lilin hingga harus meraba-raba permukaan tikar untuk mencari pemantik yang kutinggalkan di sana.

"Lilin...tiba-tiba..mati..saya..ada rambut..eh..suara lagi..saya mencoba mencari pemantik," kataku gugup dan ngos-ngosan sembari terus meraba-raba. Botol air mineral yang tidak tertutup tersenggol lalu terguling. Isinya tumpah. Suara mengikik terdengar semakin panjang seperti menertawakanku.

Saat akhirnya pemantik itu kutemukan, aku justru tertegun karena kini terdengar tangis perempuan, menyayat seperti dalam penderitaan yang sangat. Aku terpukau.

"Sekarang..terdengar...perempuan menangis."

Suara tangisan itu makin keras dan aku segera sadar lilin di tanganku harus segera dinyalakan. Pemantik kutekan. Sekali, gagal. Dua kali, gagal. Tiga kali, juga gagal. Dengan khawatir kepalaku menoleh ke arah suara tangisan. Tidak ada apapun kecuali gelap dan sesekali hanya cahaya percikan bunga api dari pemantikku yang mejan.

Lobi hotel ini kemudian jadi sangat riuh karena suara tangisan itu kini ditingkahi suara anak kecil ketawa, lalu menyusul suara gesekan di lantai, mendekat seperti sebuah karung beras yang diseret....

Sruugh...

Sruuuuugh...

Sruuuuuuuuuuuugh...

Jantungku berdebar kencang.

Pada percobaan yang entah keberapa kali dan saat suara-suara itu lenyap, akhirnya pemantik sialan itu menyala. Tapi bersamaan dengan itu, mendadak dua wajah bertumpuk muncul di depanku!

Aku terpukau.

Walau ingin, seperti ada yang menahanku untuk segera melemparkan pemantik dan berlari dari sana. Teror yang dahsyat bagai mengikat tubuhku...

Api pemantik itu cukup untuk mengenali mereka. Wajah perempuan yang terbalik hingga rambutnya yang putih menjuntai ke lantai, mulutnya terbuka dan matanya melotot padaku. Di atasnya, wajah seorang anak kecil pun sedang menghadapku, dagunya menempel di dagu perempuan berambut putih, tertawa-tawa girang. Badanku bergetar hebat hingga pemantik di tanganku benar-benar terjatuh dan padam.

Gelap gulita.

Aku memejamkan mata, bergeser surut ke belakang. Mereka mendekat, terasa hembusan-hembusan napas menerpa wajahku, panas dan berbau bangkai!

"Sudah, Maaaaaas...sudaaahhh!" teriakku sambil melambaikan tangan.

Hingga terdengar pintu terbuka tidak terlalu lama kemudian, aku baru berani membuka mata. Ruangan terang benderang. Si pembawa acara dengan jubah hitam panjangnya berjalan masuk diikuti beberapa orang kru dan dua orang paranormal yang jadi narasumber di acara ini. Aku dipapah untuk berdiri, keringatku bercucuran.

Setelah memberi waktu padaku untuk menenangkan diri, pembawa acara itu bertanya, "Anda menyerah?"

Aku hanya mengangguk.

"Silakan ceritakan apa yang anda alami."

Sedikit lebih tenang karena semua sudah berakhir, aku mencoba bercerita.

"Tidak seperti malam kemarin, malam ini saya benar-benar melihat mahluk-mahluk astral. Awalnya suara ketawa anak kecil dan perempuan mengikik di...sana..dan...di sana. Lalu, saya juga melihat sosok....." kata-kataku terhenti.

Darahku tersirap.

Seperti teror yang mencekam dalam gerakan lambat, aku melihat wajah perempuan dan anak kecil yang bertumpuk itu muncul...mengintip dari balik tubuh si pembawa acara!

Tubuhku gemetar.

"Mas, saya..saya ingin pu..pu..lang..sssa..ja," kataku terbata-bata.

"Pulang?"

Seluruh kru menertawakan.

"Iy..yya," jawabku menunduk, tidak berani memandang justru karena dua mahluk yang mengintip di belakangnya.

"Tidak bisa! Salah anda sendiri mau jadi peserta!" sentak pembawa acara itu ketus.

Kaget dengan nada bicaranya, tanpa sadar kepalaku terangkat....

Gusti!

Apa yang kemudian kusaksikan sungguh membuatku hampir pingsan. Pembawa acara itu melotot marah. Mulutnya menyeringai lebar sekali. Saking lebarnya, sudut bibirnya sampai menyentuh kedua telinga hingga wajahnya seakan terbelah jadi dua. Para kru cekakakan.

"Anda belum boleh pulang...acara belum selesai!"

Lampu padam.

Cigugur, 18 Desember 2011

-          Untuk membaca karya MIRROR yang lain, klik ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun