Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

TikTok Menggoyang Kedaulatan

20 September 2020   09:32 Diperbarui: 20 September 2020   12:53 2474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintah Amerika Serikat mengancam akan mengeluarkan larangan mengunduh dan menggunakan aplikasi TikTok| Sumber: BBC Indonesia via Kompas.com

Jika hingga hari Minggu 20 september 2020 tidak ada kesepakatan antara induk TikTok, ByteDance dengan Oracle, maka mulai hari Minggu ini (waktu Washington DC), Amerika Serikat (AS) melalui kementerian perdagangan (Kemendag) melarang warganya mengunduh TikTok dan menggunakan aplikasi seperti WeChat (Whatsappnya Tiongkok).

Gedung putih menilai aplikasi yang saat ini mempunyai 100 juta pengguna di "Negeri Paman Sam" digunakan sebagai alat intelijen Tiongkok untuk memperoleh data negaranya. 

Kemendag AS mengklaim bahwa TikTok dan WeChat sama-sama mengancam keamanan AS karena keduanya mengumpulkan dan menggunakan data pengguna seperti sejarah pencarian hingga lokasi.

"TikTok merupakan partisipan aktif gabungan militer-sipil Tiongkok dan bekerja sama dengan dinas intelijen dari Partai Komunis Tiongkok," ujar pejabat Kemendag AS seperti diwartakan Sky News, Jumat (18/9/2020).

Pengelola aplikasi itu sendiri sudah menyangkal tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa mereka tidak akan pernah membagikan datanya kepada pemerintah Tiongkok demi tujuan apa pun. 

Karena itu, untuk menghindari pelarangan, BytreDance dan Oracle saat ini tengah memfinalisasi pembentukan perusahaan baru, TikTok Global, untuk meredakan kekhawatiran Gedung Putih.

Oracle dan ByteDance disebut sudah menyerahkan proposal di mana aplikasi tersebut bakal menjadi perusahaan terpisah di AS. Mereka juga sepakat untuk membentuk komite keamanan, dengan ketuanya harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah Trump.

Apabila akhirnya AS mengeluarkan larangan mengunduh TikTok, maka langkah tersebut mengikuti jejak Pemerintah India. Pada Juni 2020 Pemerintah India melalui Menteri Dalam Negeri India, Amit Shah secara resmi memblokir 59 aplikasi buatan perusahaan Tiongkok yang beroperasi di India. 

Dari 59 aplikasi yang diblokir tersebut beberapa di antaranya adalah TikTok, Browser buatan Alibaba dan Wechat buatan Tenchen.

Ilustrasi: Reuters via BBC Indonesia
Ilustrasi: Reuters via BBC Indonesia
Pemerintah India beralasan bahwa pemblokiran dilakukan karena aplikasi-aplikasi tersebut diduga dipergunakan untuk mencuri data privasi pengguna dan dikirimkan ke server di luar India. 

Tindakan tersebut merupakan ancaman bagi kedaulatan, integritas, ketahanan dan keamanan, serta kepentingan umum di India.

Alasan lain yang tidak dikemukakan ke publik adalah keterkaitannya dengan urusan politik dan keamanan di Lembah Galwan yang merupakan perbatasan India-Tiongkok. Sebanyak 20 orang tentara India di Lembah Galwan tewas oleh tentara Tiongkok. 

Karena peristiwa tersebut, publik India marah dan menuntut boikot produk-produk Tiongkok dan mengakhiri hubungan dagang dengan negara panda tersebut. Beberapa negara bagian seperti Maharashtra, Haryana, dan Uttar Pradesh telah menyatakan sikapnya menentang Tiongkok.

Memperhatikan alasan pelarangan TikTok oleh AS, dan sebelumnya India, terlihat bahwa sesungguhnya perspektif ancaman terhadap kedaulatan suatu negara telah bergeser dari kedaulatan konvensional ke kedaulatan siber. 

Pada kedaulatan konvensional, teritori suatu negara secara tegas dibatasi oleh koordinat, batas-batas alam yang diakui secara international. 

Pada kedaulatan siber, teritorinya hanya dibatasi oleh nomor-nomor internet protocol (IP). Sehingga ketika suatu negara bermaksud menyerang kedaulatan negara lain, tidak perlu mengerahkan pasukan militernya secara fisik. Yang dikerahkan justru pasukan siber untuk berperang di dunia maya.

Untuk itu, merujuk langkah Trump untuk melarang penggunaan berbagai aplikasi buatan Tiongkok dsn bersikap resiprokal dalam hubnungan dagang, kiranya dapat dipahami sebagai upaya menjaga kedaulatan siber dan pada yang sama menjaga kepentingan ekonomi dan politiknya.

Tiongkok, yang selama lebih dari dua dekade berhasil membangun kemandirian di dunia informasi global, dengan membangun Firewall dan server internet raksasa, dipandang sangat berhasil membangun kedaulatan sibernya. 

Tiongkok menjadi negara yang mandiri di bidang teknologi informasi dan tidak bergantung pada teknologi asing. Namun demikian, kesuksesan Tiongkok tersebut tidak diikuti dengan keterbukaan di berbagai sektor seperti ekonomi dan perdagangan.

Ketika berbagai perusahaan Tiongkok seperti Tencent Holdings Ltd dan Alibaba Group Holding Ltd bebas melakukan ekspansi ke negara-negara lain, Tiongkok justru membatasi diri dari masuknya perusahaan-perusahaan multinasional, termasuk perusahaan multinasional AS.

Google dan Facebook tidak bisa menembus firewall raksasa yang dibangun Tiongkok. Sejumlah persyaratan ketat dikenakan kepada perusahaan-perusahaan multinasional yang ingin memasuki pasar Tiongkok yang berpenduduk sekitar 1,4 milyar jiwa.

Beberapa kewajiban standar seperti perlunya menggandeng mitra lokal dan kewajiban alih teknologi dipandang memberatkan.

Menyikapi upaya untuk menjaga kedaulatan nasional, khususnya kedaulatan siber, maka langkah yang ditempuh Trump mengancam Tiongkok agar bersikap resiprokal dalam hubungan dagang, termasuk pemanfaatan internet dapat dipahami.

Apa yang terjadi dengan TikTok di AS saat ini tidak terlepas dari kebijakan Tiongkok yang sangat proteksionis di bidang perdagangan dan informasi. Tiongkok sangat membatasi masuknya berbagai perusahaan dan media asing tanpa mitra lokal.

Tidak mengherankan aplikasi media sosial seperti Facebook dan Twitter dilarang, demikian pula halnya dengan kegiatan perbankan online asing.

Untuk itu ancaman Trump kepada TikTok kiranya dapat dipahami sebagai upaya mendorong Tiongkok untuk menerapkan kebijakan resiprokal di era baru nasionalisme teknologi. 

Ancaman Trump tidak main-main karena ia juga berupaya menggandeng negara-negara, seperti Rusia dan India untuk mengetatkan pengawasan dan pemanfaatan internet global di jaringan broadband.

Dengan jaringan broadband, seluruh negara di dunia terhubung. Berbagai aktivitas dilakukan melintasi batas negara dengan adaptasi terhadap perubahan yang sedemikian pesat.

Di bidang ekonomi dan perdagangan misalnya, komoditas barang yang diperdagangkan semakin beragam sehingga lalu-lintas 'barang dagangan' pun dilakukan melalui jaringan broadband, tidak melalui pengapalan dan pelabuhan.

Tidak melalui custom-clearence, tidak melalui bea dan cukai, belum terjangkau audit perpajakan, tidak ada commercial-present, dan sebagainya. 

Globalisasi online terjadi begitu saja di depan mata dan perdagangan global secara online telah terjadi semakin marak. Tidak ada kendali negara dan tidak ada kedaulatan ekonomi. Karenanya potensi munculnya ancaman di dunia digital sangat besar.

Potensi ancaman yang muncul antara lain terkait dengan jaminan transaksi digital ataupun masuknya ideologi-ideologi atau ajaran yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kehidupan sebuah bangsa dan negara. 

Bila kendali sosial di dunia nyata bisa dilakukan melalui rasa malu, maka di dunia siber tidak ada lagi kendali sosial itu karena perbuatan apapun bisa dilakukan di ruang pribadi.

Maka dalam perspektif yang berbeda, ancaman Trump terhadap TikTok dapat dilihat sebagai upaya untuk menunjukkan kehadiran negara. Bahwa kendali negara di dunia siber tetap diperlukan. Tanpa kendali negara, kedaulatan sebuah negara niscaya akan terganggu.

Bukan hanya masalah ekonomi dan perdagangan yang terganggu, masalah ideologi, politik, dan sosial-budaya suatu negara pun akan terganggu. 

Hal ini bisa terhjadi karena informasi dari manapun dapat dengan mudah diakses dan dikirim masuk ke suatu wilayah negara melalui jaringan broadband global.

Lalu di tengah konflik AS-Tiongkok, bagaimana TikTok di Indonesia?

Menurut catatan, TikTok pernah diblokir selama seminggu oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada pertengahan 2018. Alasannya, TikTok dinilai negatif untuk anak dengan ditemukannya konten pornografi, asusila, pelecehan agama, dan lain-lain. Namun pasca pemblokiran, TikTok semakin popular di Indonesia.

Saat ini, ketika kita menggulir linimasa Twitter atau Instagram, seringkali kita mendapatkan video-video viral dari TikTok terselip di antaranya. Bahkan, tidak sedikit selebgram, aktor, hingga pejabat Indonesia ikut mengunggah video TikTok mereka dengan berjoget diiringi soundtrack lagu Tiktok.

Menurut laporan perusahaan riset pasar aplikasi mobile Sensor Tower, TikTok menjadi aplikasi kategori selain gim paling banyak diunduh di seluruh dunia per Juli 2020 dengan jumlah unduhan lebih dari 65,2 juta unduhan. 

Dari jumlah tersebut, pengguna di AS menjadi yang terbanyak dengan 9,7 persen dan Indonesia dengan 8,5 persen.

Dengan jumlah unduhan yang sedemikian besar, maka TikTok menjadi popular di Indonesia. Namun demikian, tanpa kendali negara, kedaulatan NKRI niscaya bisa terganggu. Ideologi, politik, dan sosial-budaya dari manapun dapat dengan mudah diakses dan dikirim masuk ke wilayah NKRI melalui jaringan broadband global.

Untuk itu kiranya negara tetap perlu hadir untuk mengendalikan penggunaan aplikasi semacam TikTok, termasuk dalam hal penggunaan TikTok untuk sosialisasi Pancasila seperti yang pernah dikemukakan pejabat pemerintah beberapa waktu lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun