Mohon tunggu...
Arip Senjaya
Arip Senjaya Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, pengarang, peneliti

Pengarang buku, esai, dan karya sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nista

1 Juni 2022   11:08 Diperbarui: 1 Juni 2022   11:21 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mengenal dia sejak sekolah menengah melalui karangan-karangannya yang dimuat di koran lokal, susul-menyusul dengan karangan-karanganku. Dia menulis cerita pendek, aku juga. Tiap giliran karanganku yang dimuat, aku tersenyum membayangkan dia berkata "Tunggu minggu depan", dan ketika minggu depan karangan dia dimuat aku pun berkata "Tunggu minggu depan."

Ke sekolahku bermacam surat penggemar datang dari beragam anak pelajar, dan setiap aku mendapat panggilan pengeras suara "Ada surat buat... harap diambil segera!" aku pun membayangkan dia sedang dipanggil oleh petugas pengeras suara di sekolahnya dengan cara yang sama. Aku akan berpapasan dengan beberapa teman atau guru yang mengucapkan "Selamat ya sudah dimuat lagi!" dan setiap hal itu terjadi aku pun membayangkan dia di sekolahnya diberi ucapan selamat oleh siapa saja yang berpapasan saat dia berjalan ke bagian pengambilan surat.

Apa pun warna kertas surat-surat dari para penggemar itu, bagaimana pun gaya aksara penulisan masing-masing, pada dasarnya hanya berisi tiga hal: pujian, pertanyaan bagaimana bisa mengarang dan dimuat di koran, dan harapan menjadi sahabat pena. Mereka biasanya menyelipkan amplop berprangko balasan dengan alamat yang sama atau alamat lain jika aku akan membalasnya. Aku pun percaya, dia sering pula membaca surat-surat para penggemarnya dengan tiga hal itu dan mendapatkan amplop-amplop balasan berprangko dari para penggemarnya. Lama-lama hal itu terasa menjadi rutinitas mengesalkan, dan terselipnya amplop-amplop balasan berprangko dari mereka malah membuat aku, juga tentu dia, merasa diintimidasi para penggemar kami agar buru-buru menulis dan mengirimkan balasan.

Maka, hal yang paling memuakkan bagiku, juga pasti bagi dia, adalah harus menjawab surat siapa pun dengan jawaban-jawaban yang kurang lebih sama dan perasaan diintimidasi yang sama pula.

Kadang-kadang aku membiarkan beberapa surat yang terasa tebal beberapa hari di rak atau di tas sebab yakin setebal apa pun isinya pasti sama, dan kalau aku berbuat senista itu, aku juga yakin dia melakukan hal yang sama di kamarnya. Mungkin tidak sekadar menunda, seperti aku di pun juga, dia akan melemparkan surat-surat penggemar itu seakan sampah belaka, meski kemudian aku merasa kasihan, dan dia pun pasti merasa kasihan kepada surat-surat menyebalkan itu.

Kalau aku duduk di samping jendela kamarku dan merasakan matahari pagi di hari libur sekolah dan bersabar membalas surat-surat berulang itu, aku merasa dia juga sedang duduk di samping jendela rumahnya dan merasakan matahari pagi di hari libur yang sama dan dengan sabar pula melayani dunia yang berulang.

Ketika aku mulai membidik media lain yang lebih besar karena bosan dengan media sebelumnya dan ingin tantangan baru, aku menemukan karangan dia pun dimuat di koran yang sama, tentu aku dan dia tidak terlalu susul-menyusul, selalu ada jeda diselingi tiga sampai lima karangan lain dari pengarang-pengarang ternama atau pengarang-pengarang pendatang baru seperti kami.

Sempat aku merindukan suasana lama di koran sebelumnya, jarak pemuatan kami tak pernah terlalu jauh. Tentu ia juga merindukan suasana lama yang sama. Tapi baik aku maupun dia tidak pernah kembali berkirim karangan ke media yang lama.

Tidak, aku harus bergerak maju, dan dia juga pasti ingin bergerak maju memasuki tantangan-tantangan baru.

Di masa pemuatan-pemuatan di media nasional yang lebih besar, aku sudah tidak lagi membayangkan dia berkata "Tunggu minggu depan" jika giliran karanganku yang dimuat, karena aku pun tidak lagi mengatakan "Tunggu minggu depan" jika giliran dia yang dimuat. Aku hanya akan membaca karangan-karangannya sedalam mungkin dan kuyakin dia pun mulai mendalami karangan-karanganku.

Dia-diam kurasakan benar ada yang aneh dengan karangan-karangan dia dan hal yang sama terjadi dengan karangan-karangan aku sendiri. Sejak kami salip-menyalip dimuat di koran lokal, hingga kemudian kami saling menunggu dimuat di koran nasional, tak pernah satu pun ada karanganku atau karangan dia yang berbicara tentang cinta, padahal kami sama-sama anak sekolah menengah yang sudah sepantasnya mengumbar tema-tema cinta.

Akhirnya aku melarikan diri dari koran nasional yang biasa memuat karangan-karangan kami itu, sebab aku merasa ketakutan tiap kali melihat kesepianku dan kesepian dia di karangan kami masing-masing. Hidup kami masing-masing rasanya seakan bercermin pada lubang tali gantungan yang entah mengapa memaksa kami untuk menutup jendela pagi bermentari pagi, mengabaikan surat, buku, koran, majalah apa pun di meja belajar kami, dan tak yakin dengan masa depan kami masing-masing. Hampa.

Aku pun mulai mencari majalah-majalah yang dapat memuat cerita dan berkirimlah aku ke majalah-majalah tersebut tanpa pernah mengeceknya kendati aku melanggan semuanya, takut aku menemukan karangan-karangan dia sebab aku yakin dia pun mulai takut membaca karangan-karanganku dan kuyakin dia mulai berkirim ke majalah-majalah yang sama. Makin sering aku mengarang dan berkirim karangan dan makin aku abai dengan pemuatannya, makin terasa perih saja kesepianku ---juga pasti kesepian dia--- melanda hari-hariku dan hari-hari dia.

Aku hanya tahu dimuat atau tidak kalau mendapatkan kiriman wesel-wesel honorarium yang berisi berita pemuatan yang disertai judul karanganku dan tanggal pemuatannya, dan setiap aku mencairkan wesel-wesel itu ke kantor pos rasanya aku sedang mengambil upah dari jerih-payah kesepian-kesepianku. Apakah dia merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan? Merasakan sejenis nista pada diri sendiri? Aku yakin dia pun sama.

Maka ketika hari ini koran-koran kutemukan sedang heboh memberitakan kematian seorang pengarang muda berbakat, ditemukan gantung diri, aku pun segera memahami apa yang harus kulakukan agar aku dan dia tetap bersama. Tunggu saja giliranku.

Serang, 2022

Cerpen-cerpen Arip Senjaya dimuat di berbagai media nasional dan di sejumlah buku antologi bersama seperti Hujan Klise (Kompas, 2018) dan Dokter Setengah Malaikat (basabasi.co, 2019). Kumpulan cerpen pertamanya Patung Kaki Kanan (2014).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun