Mohon tunggu...
Ari J. Palawi
Ari J. Palawi Mohon Tunggu... Petani Seni dan Akademisi

The Sonic Bridge Between Tradition and Innovation

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Dari Cangkir Kopi ke Global Citizenship: Warkop sebagai Ruang Belajar Alternatif

21 Agustus 2025   20:48 Diperbarui: 21 Agustus 2025   20:50 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budaya ngopi di Aceh bukan hanya cara melepas penat, melainkan identitas sosial yang kian membentuk laboratorium intelektual. Di Banda Aceh, ritme "ngopi" sudah menjadi bagian keseharian, terutama bagi mahasiswa. Data resmi mencatat lebih dari 300 warung kopi atau kafe berizin, sementara estimasi lapangan menunjukkan jumlah sebenarnya bisa mencapai hampir 3.000 gerai. Fakta ini menguatkan julukan "kota 1001 warkop" sebagai ruang sosial dan intelektual yang nyata.

Di meja kopi, percakapan santai bersinggungan dengan diskusi akademik maupun politik. Tugas kuliah bercampur dengan narasi sosial, dan pertemanan lintas kampus terbentuk tanpa sekat formal. Warkop legendaris seperti Solong di Ulee Kareng menjadi semacam monumen budaya ngopi yang melampaui fungsi konsumsi—ia adalah titik temu gagasan sekaligus memori kolektif.

Jika ditilik dari literatur internasional, praktik belajar di ruang informal seperti ini sejalan dengan konsep third space. Konsep ini menekankan bahwa mahasiswa berkembang bukan hanya di kelas, tetapi juga di tempat-tempat yang memfasilitasi interaksi sosial, kolaborasi, dan refleksi. Meta-analisis mutakhir menunjukkan bahwa pembelajaran aktif—termasuk diskusi bebas dan peer learning—secara konsisten meningkatkan capaian akademik sekaligus menurunkan angka kegagalan. Mahasiswa yang mengasah self-regulated learning melalui perencanaan, pemantauan, dan refleksi justru menemukan bahwa ruang semacam warkop mendukung kemandirian belajar mereka.

Kebaruan konteks Aceh memberi arah baru: keberadaan ratusan hingga ribuan warkop memungkinkan universitas meninjau ulang orientasi pembiayaan. Alih-alih membangun infrastruktur fisik yang berat dan mahal, universitas dapat memfasilitasi ruang publik yang sudah hidup dalam masyarakat. Model ini tidak hanya hemat biaya, melainkan juga memberdayakan—pemilik warkop, komunitas, dan mahasiswa diposisikan sebagai mitra sejajar dalam ekosistem pendidikan tinggi. Dengan begitu, universitas dapat mengalihkan anggaran besar ke peningkatan mutu riset, kapasitas dosen, dan pembinaan mahasiswa.

Dalam konteks pendidikan seni, gagasan ini bahkan lebih relevan. Laboratorium yang ideal bagi seniman tidak selalu berupa gedung baru, melainkan laboratorium natural yang sudah dimiliki di luar kampus: studio pribadi, sanggar, galeri, atau ruang pertunjukan alternatif. Universitas dapat mengambil peran sebagai fasilitator, membuka akses mahasiswa untuk belajar langsung dari praktik profesional, sekaligus menata sistem akademik agar pengalaman itu sahih secara ilmiah. Dengan cara ini, pembelajaran seni menjadi lebih utuh—menyatukan teori, praktik, dan konteks sosial budaya—serta menempatkan mahasiswa bukan sekadar sebagai penerima ilmu, melainkan pengolah pengalaman nyata dalam ekosistem seni yang dinamis.

Kedai Kopi sebagai Thinking Space

Bagi banyak mahasiswa di Banda Aceh, warkop berfungsi sebagai thinking space—ruang belajar nonformal yang produktif. Fasilitas seperti Wi-Fi, pencahayaan yang cukup, serta suasana santai membuat aktivitas belajar terasa lebih cair dibandingkan atmosfer perpustakaan yang kaku. Tidak sedikit mahasiswa yang mengaku lebih mudah menulis, berdiskusi kelompok, atau merumuskan ide riset di meja kopi ketimbang di ruang kelas formal.

Fenomena ini bersinggungan langsung dengan ekosistem ekonomi kreatif. Pemerintah Kota Banda Aceh bahkan menempatkan warkop sebagai salah satu pilar penggerak ekonomi lokal. Estimasi pengeluaran masyarakat untuk ngopi mencapai triliunan rupiah per tahun. Dengan demikian, warkop tidak sekadar menjadi tempat singgah, tetapi juga arena berbagi gagasan, membangun jejaring, hingga merancang inisiatif bersama.

Dalam perspektif pendidikan tinggi, warkop dapat dipahami sebagai perpanjangan tangan universitas. Ia menghadirkan kampus terbuka yang inklusif, egaliter, dan melampaui sekat status sosial. Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi maupun latar belakang ekonomi dapat duduk bersama membicarakan tugas, politik, atau wacana kebudayaan. Di titik ini, warkop menegaskan diri sebagai public sphere yang nyata—ruang belajar yang tidak dibatasi dinding kelas, melainkan diperkuat oleh interaksi sosial dan kolaborasi lintas identitas.

"Kupi Khop" Meulaboh.  "Khop" berarti terbalik atau terkelungkup, mengacu pada cara penyajiannya. 

Titik Kritis: Ketika Warkop Tak Lagi Mendidik

Potensi warkop sebagai ruang belajar produktif tidak hadir tanpa sisi gelap. Fungsi sosial yang seharusnya menopang pembelajaran sering kali tergeser oleh perilaku eskapisme. Razia Satpol PP terhadap pelajar dan ASN yang nongkrong saat jam belajar maupun jam kerja memperlihatkan rapuhnya budaya ngopi di Banda Aceh: meja kopi yang idealnya menjadi arena diskusi justru berubah menjadi simbol ketidakdisiplinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun