Mohon tunggu...
Ari J. Palawi
Ari J. Palawi Mohon Tunggu... Petani Seni dan Akademisi

The Sonic Bridge Between Tradition and Innovation

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Resonansi Jockie Soerjo Prajogo: Seni yang Menggugat, Musik yang Menghidupkan

17 Agustus 2025   08:00 Diperbarui: 17 Agustus 2025   08:21 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber. Ilustrasi dari foto Ari (2015)


Jejak Pertemuan

Di tahun 2015, saya tengah sibuk mempersiapkan sebuah gagasan yang bagi banyak orang terdengar seperti mimpi. Reuni akbar alumni Musik ISI Yogyakarta di Tanah Gayo, Aceh Tengah, bukan hanya akan menjadi ajang temu kangen, tetapi juga festival musik berskala nasional. Bayangkan sebuah orkestra yang merangkul tiga dunia sekaligus: pop kontemporer, klasik, dan tradisional-modern, dipentaskan di dataran tinggi yang harum oleh kopi Gayo dan terhampar di tepian Danau Laut Tawar. Bagi saya, gagasan itu lebih dari sekadar pertunjukan; ia adalah cara untuk menunjukkan bahwa musik bisa menjadi jembatan antara pusat dan daerah, antara tradisi dan modernitas.

Gagasan ini membawa saya pada perjumpaan yang tidak saya duga sebelumnya. Lewat Mas Oni Krisnerwanto, saya akhirnya dipertemukan dengan seorang sosok yang namanya sudah lama saya kenal lewat karya-karyanya, tetapi baru kali itu saya berkesempatan menatap matanya langsung: Jockie Soerjo Prajogo. Nama itu tentu tak asing bagi siapa pun yang mengikuti jejak musik Indonesia sejak dekade 1970-an. Ia adalah kibordis, komposer, sekaligus penggugat zaman melalui musik. Pertemuan itu terjadi di kediamannya. Suasana terasa hangat, akrab, dan penuh energi yang khas: bukan sekadar obrolan antar-generasi, tetapi perjumpaan antara dua dunia yang sama-sama meyakini bahwa musik punya fungsi lebih dari hiburan.

Saya memulai percakapan dengan bercerita tentang Gayo, tentang aroma kopi yang memabukkan, tentang danau yang selalu menenangkan pikiran. Jockie menanggapi dengan santai, lalu mengaitkannya dengan pengalamannya konser di Malang. Dari situ, aliran obrolan berubah, menjalar dari kisah panggung menuju refleksi yang dalam tentang arah musik Indonesia. Ia berkata dengan nada yang mantap: "Musik itu bukan sekadar hiburan, ia adalah ekspresi zaman." Kalimat itu menghentak, seolah mengingatkan saya bahwa setiap nada yang dimainkan sesungguhnya adalah cermin dari situasi sosial di sekitarnya.

Percakapan yang semula hanya saya bayangkan sebagai konsultasi singkat berubah menjadi perenungan panjang. Kami berbincang tentang bagaimana industri musik di Tanah Air seringkali terjebak dalam siklus komersial, lupa bahwa musik juga punya tanggung jawab kultural. Jockie berbicara tanpa tedeng aling-aling. Ia mengkritik bagaimana negara kerap memperlakukan seni hanya sebagai hiasan seremoni, sementara esensinya diabaikan. Ia menegaskan bahwa "kebudayaan bukan hiasan, ia adalah inti peradaban." Kata-kata itu ia ucapkan dengan tegas, namun tidak dengan nada marah, melainkan dengan kepahaman seorang musisi yang telah menyaksikan berpuluh tahun pergulatan bangsa.

Di titik itu, saya menyadari bahwa yang saya hadapi bukan sekadar seorang maestro musik, tetapi juga seorang pemikir kebudayaan. Ia bukan akademisi yang berbicara dari balik podium, melainkan seorang seniman yang ditempa panggung, studio, dan jalanan. Obrolan kami kemudian mengalir ke arah yang lebih kritis: tentang pendidikan seni, tentang generasi muda, dan tentang apa yang sesungguhnya hilang dalam sistem kebudayaan kita. Namun sebelum sampai ke sana, saya masih tertegun pada satu hal: betapa musik, dalam pandangan Jockie, adalah sesuatu yang hidup, bergerak, dan selalu menyuarakan kebenaran.

Pertemuan itu saya tuliskan dalam sebuah catatan panjang yang kemudian menjadi bagian dari buku Tradisi dan Transformasi: Aceh di Persimpangan Sejarah dan Modernitas (Bab VI). Namun lebih dari sekadar dokumentasi, bagi saya, percakapan itu adalah pengalaman yang mengubah cara pandang. Saya belajar bahwa bertemu dengan seorang seniman sejati bukan hanya bertukar cerita, melainkan juga bertukar energi. Dan energi itu terus bergaung sampai sekarang, mengingatkan bahwa musik adalah bahasa zaman, dan zaman itu tidak pernah bisa didiamkan.


Seorang Maestro dalam Riwayat Musik

Bagi banyak orang, nama Jockie Soerjo Prajogo segera mengingatkan pada dentuman rock God Bless, kibor yang meraung sekaligus merayu dalam Badai Pasti Berlalu (1977), atau dentuman kritik sosial dari Swami dan Kantata Takwa. Tetapi duduk di hadapannya, saya justru melihat sesuatu yang lebih sederhana—seorang manusia yang tak pernah berhenti menghubungkan musik dengan kenyataan sehari-hari. Ia menatap jauh ke belakang tanpa nostalgia murahan, dan menatap ke depan tanpa ilusi berlebihan.

Jockie mengawali kiprahnya di dunia musik sejak 1970-an, ketika rock menjadi bahasa perlawanan. Bersama God Bless, ia ikut membentuk lanskap musik Indonesia yang keras kepala, yang berani bersuara di tengah keterbatasan politik dan kebebasan berekspresi. Dari situ, ia kemudian menorehkan jejak tak tergantikan dalam album Badai Pasti Berlalu, sebuah kolaborasi monumental yang hingga kini disebut sebagai salah satu karya terbaik dalam sejarah musik pop Indonesia. Album itu bukan hanya berisi lagu-lagu cinta, tetapi juga atmosfer zaman: keresahan, harapan, dan semacam doa kolektif bahwa badai apa pun yang dihadapi bangsa ini akan berlalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun