Mohon tunggu...
Ari J. Palawi
Ari J. Palawi Mohon Tunggu... Petani Seni dan Akademisi

The Sonic Bridge Between Tradition and Innovation

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kotak Media di Kota Pesta: Musim ke - 1 (Bagian II)

15 Agustus 2025   15:00 Diperbarui: 9 Oktober 2025   11:21 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik Melayu menggema di panggung Amerika (2014)

Episode 4

Ritual dan Representasi

Hujan sudah reda pagi itu, meninggalkan aroma tanah basah yang merayap masuk lewat jendela ruang kelas. Langit mendung, tapi cahaya yang masuk cukup membuat ukiran di permukaan kotak di meja tengah terlihat jelas. Beberapa mahasiswa sudah duduk, sebagian bersandar sambil menyeruput kopi dari gelas plastik.

Teungku Ari masuk tanpa banyak suara, menaruh tas kain di kursi depan. “Hari ini, kita bicara tentang bagaimana sesuatu dilihat dan didengar,” katanya, sambil memandang ke arah kotak.

Cik Mei sudah menyiapkan kamera di tripod. Bang Ucok membawa buku catatan, meski kemungkinan besar akan penuh coretan bukan tulisan. Raka duduk di samping kotak, jari-jarinya gelisah mengetuk meja.

“Raka,” kata Teungku Ari, “tolong buka kotaknya.”

Raka menggeser penutup kayu itu pelan. Udara kelas berubah seketika. Dari dalam kotak, keluar suara ratapan perempuan. Nada-nadanya melangkah dalam pola 6/8, dipimpin suara syéh yang memandu setiap bait. Tidak ada musik pengiring selain langkah kaki yang serempak menapak lantai kayu.


“Ini Phô,” ujar Teungku Ari. “Ritual ratapan perempuan Aceh, yang dicatat Margaret Kartomi dalam penelitiannya. Setiap langkah, setiap napas, adalah bagian dari kisah duka kolektif. Ia bukan hiburan, bukan tontonan untuk turis. Ia adalah ruang bersama untuk mengikat ingatan.”

Beberapa mahasiswa memejamkan mata, mencoba membayangkan ruang tempat suara itu lahir. Cik Mei tetap merekam, matanya bergantian memandang layar kamera dan memerhatikan reaksi teman-temannya.

“Kalau kita memutar ini di sini,” lanjut Teungku Ari, “apakah ia masih Phô? Atau ia sudah berubah menjadi sesuatu yang lain?”

Bang Ucok mengangkat tangan. “Kalau buat saya, ini jadi kayak… rekaman dokumenter. Bukan lagi ritualnya langsung.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun