Episode 4
Ritual dan Representasi
Hujan sudah reda pagi itu, meninggalkan aroma tanah basah yang merayap masuk lewat jendela ruang kelas. Langit mendung, tapi cahaya yang masuk cukup membuat ukiran di permukaan kotak di meja tengah terlihat jelas. Beberapa mahasiswa sudah duduk, sebagian bersandar sambil menyeruput kopi dari gelas plastik.
Teungku Ari masuk tanpa banyak suara, menaruh tas kain di kursi depan. “Hari ini, kita bicara tentang bagaimana sesuatu dilihat dan didengar,” katanya, sambil memandang ke arah kotak.
Cik Mei sudah menyiapkan kamera di tripod. Bang Ucok membawa buku catatan, meski kemungkinan besar akan penuh coretan bukan tulisan. Raka duduk di samping kotak, jari-jarinya gelisah mengetuk meja.
“Raka,” kata Teungku Ari, “tolong buka kotaknya.”
Raka menggeser penutup kayu itu pelan. Udara kelas berubah seketika. Dari dalam kotak, keluar suara ratapan perempuan. Nada-nadanya melangkah dalam pola 6/8, dipimpin suara syéh yang memandu setiap bait. Tidak ada musik pengiring selain langkah kaki yang serempak menapak lantai kayu.
“Ini Phô,” ujar Teungku Ari. “Ritual ratapan perempuan Aceh, yang dicatat Margaret Kartomi dalam penelitiannya. Setiap langkah, setiap napas, adalah bagian dari kisah duka kolektif. Ia bukan hiburan, bukan tontonan untuk turis. Ia adalah ruang bersama untuk mengikat ingatan.”
Beberapa mahasiswa memejamkan mata, mencoba membayangkan ruang tempat suara itu lahir. Cik Mei tetap merekam, matanya bergantian memandang layar kamera dan memerhatikan reaksi teman-temannya.
“Kalau kita memutar ini di sini,” lanjut Teungku Ari, “apakah ia masih Phô? Atau ia sudah berubah menjadi sesuatu yang lain?”
Bang Ucok mengangkat tangan. “Kalau buat saya, ini jadi kayak… rekaman dokumenter. Bukan lagi ritualnya langsung.”