Mohon tunggu...
Ari J. Palawi
Ari J. Palawi Mohon Tunggu... Petani Seni dan Akademisi

The Sonic Bridge Between Tradition and Innovation

Selanjutnya

Tutup

Seni

Observasi: Duduk, Melihat, dan Menyimak

12 Agustus 2025   15:26 Diperbarui: 12 Agustus 2025   15:26 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bantu motret temen di Mebourne 2015

Menyelinap di Balik Panggung Kota

Di kota kayak Jakarta, kita terbiasa bergerak cepat. Satu menit di KRL sambil buka TikTok, lima menit kemudian udah pindah ke kafe buat ketemu teman. Seni? Biasanya kita lihat sekilas di Instagram, kasih like, lalu scroll lagi.

Tapi suatu malam, gue nyasar ke acara musik indie di pelataran parkir sebuah gedung tua di Menteng. Bukan panggung megah—lampunya cuma beberapa bohlam gantung, penontonnya duduk di kursi lipat atau di lantai. Awalnya gue cuma mau nonton sebentar, tapi entah kenapa gue malah betah berdiri di sudut, ngeliatin semuanya lebih lama.

Di situ gue baru ngeh, ternyata ada banyak detail yang biasanya gue lewatin: gitaris yang tiap ganti lagu selalu lihat ke basis, kayak nyari kode; kru yang sigap mindahin mic walau cuma beda 5 cm; penonton yang nyanyi bareng di bagian tertentu tapi diem total di bait lain. Semua ini bikin gue mikir, "Oh, jadi gini ya rasanya kalau kita nggak cuma nonton, tapi beneran mengamati?"

Persiapan pengaturan ganti kostum Tim Tari Aceh di salah satu menue dalam Tur 4 kota mereka di Amerika Serikat (2014)
Persiapan pengaturan ganti kostum Tim Tari Aceh di salah satu menue dalam Tur 4 kota mereka di Amerika Serikat (2014)

Observasi di kota itu kayak main mode slow motion di tengah dunia yang lagi fast forward. Lu nggak cuma liat yang di panggung, tapi juga energi yang muter di sekitarnya—tawa di belakang, orang yang nyender ke tembok sambil ikut nyanyi pelan, sampai driver ojol yang berhenti sebentar buat nonton sebelum jalan lagi.

Dan mungkin, justru di momen kayak gini, kita bisa paham kalau seni di kota bukan cuma soal pertunjukan, tapi juga soal ruang yang diisi bareng-bareng, walau cuma sebentar.

Melihat Lebih dari Mata Memungkinkan

Kadang, kita kira "melihat" itu cukup buat ngerti sesuatu. Padahal, sering kali mata cuma nangkep permukaannya aja. Gue belajar itu waktu nongkrong di festival mural di daerah Blok M.

Dari jauh, kelihatannya semua seniman lagi asik menggambar dinding besar dengan cat warna-warni. Tapi begitu gue deketin, mulai keliatan kalau tiap orang punya "ritme" sendiri: ada yang kerja cepet dan banyak diam, ada yang santai sambil ngobrol sama penonton, ada yang sering mundur buat liat karyanya dari jauh. Gue perhatiin juga, ada satu seniman yang tiap kali nambah warna selalu tanya pendapat bocah kecil yang duduk di trotoar. Bocah itu kayak jadi "editor visual" dadakan.

Di situ gue sadar, observasi itu bukan cuma liat hasil akhirnya, tapi juga ngikutin proses. Lu mulai nangkep kenapa mereka milih gambar itu, kenapa warna birunya agak kusam, atau kenapa di pojok kanan ada tanda kecil yang hampir nggak keliatan. Semua itu nyimpen cerita yang nggak bakal lo temuin kalau cuma liat foto jadinya di Instagram.

Almarhum Heri Sandi, musisi Tim Tari Aceh, berkesempatan berfoto dengan organ beresonansi pipa raksasa di salah satu Venue penampilan mereka (2014) 
Almarhum Heri Sandi, musisi Tim Tari Aceh, berkesempatan berfoto dengan organ beresonansi pipa raksasa di salah satu Venue penampilan mereka (2014) 

Dan di tengah kota yang penuh distraksi kayak Jakarta, "melihat lebih" itu butuh niat. Kita harus mau tahan diri buat nggak langsung rekam-video-posting, tapi nyimpen dulu di kepala, biarin otak ngulik apa yang sebenernya lagi terjadi. Kayak baca subtitle kehidupan versi real time.

Observasi begini bikin lo ngerti kalau seni bukan benda mati, tapi interaksi. Ada seniman, ada karya, ada penonton, ada lingkungan---semuanya nyampur, dan hasilnya nggak pernah sama di tiap tempat atau waktu.

Alat Bantu Rasa Ingin Tahu

Di tengah kota kayak Jakarta, rasa ingin tahu sering kalah sama jadwal yang padat. Kita lewat satu pertunjukan musik di taman kota, eh besoknya udah lupa. Padahal, kalau mau, kita bisa jadi "peneliti" versi kita sendiri tanpa harus bawa buku tebal atau duduk di perpustakaan.

Gue nemuin trik sederhana yang bikin observasi jadi seru, bukan PR:

  • Pilih Satu Fokus, Abaikan yang Lain
     Misalnya, di pertunjukan musik jalanan, lu cuma mau fokus ke ekspresi wajah pemain bass. Atau di pameran seni, lu cuma perhatiin cara orang bergerak di antara instalasi. Fokus sempit bikin lu nangkep detail yang biasanya kelewat.
  • Dengerin Suara Latar
     Kadang, suara motor, obrolan random, atau bahkan bunyi sendok di kafe bisa nyatu sama karya yang lagi kita lihat. Suara-suara ini sering jadi bagian dari "konteks" yang nggak ada di buku.
  • Tanya dengan Rasa Ingin Tahu yang Tulus
     Kalau mau ngobrol sama seniman atau kru, jangan mulai dengan "Kenapa bikin kayak gini?" Coba tanya, "Apa bagian yang paling susah waktu bikin ini?" atau "Ada momen lucu pas prosesnya?" Pertanyaan kayak gini bikin orang mau buka cerita yang nggak standar.
  • Catat yang Bikin Lu Kaget
     Nggak usah ribet. Catet di notes HP, tulis di DM ke diri sendiri, atau rekam voice note. Pokoknya simpan momen "Oh!" biar nggak hilang.
  • Beri Ruang Buat Mikir Kritis
     Misalnya, lu lihat mural yang sponsornya brand minuman besar. Tanya ke diri sendiri: ini kolaborasi keren atau strategi marketing yang "menunggangi" seni? Nggak ada jawaban mutlak, tapi latihan mikir kayak gini bikin kita nggak gampang terima mentah-mentah.


Rasa ingin tahu itu kayak otot—makin sering dipake, makin kuat. Observasi yang awalnya cuma "ngeliat lebih lama" bisa berubah jadi kemampuan baca situasi, ngerti makna, dan bahkan bikin kita lebih peka sama apa yang terjadi di sekitar.

Pulang dengan Cerita dan Bekal Baru

Pulang dari sebuah acara seni di kota besar biasanya cuma berarti satu hal: galeri foto baru di HP. Tapi kalau kita observasi lebih dalam, pulangnya bisa bawa lebih dari itu—cerita, pemahaman, bahkan ide buat gerakan kecil di lingkungan kita.

Gue pernah nongkrong di acara jazz di taman Menteng. Awalnya cuma mau dengerin musik sambil makan cemilan, tapi akhirnya gue ngobrol sama bapak-bapak yang duduk di bangku sebelah. Dia cerita kalau dulu, sebelum taman ini direnovasi, hampir nggak ada acara musik di sini. Sekarang, katanya, anaknya yang masih SMA malah jadi sering latihan saxophone karena terinspirasi dari acara kayak gini. Gue pulang dengan pikiran: satu panggung kecil bisa punya efek domino yang nggak kita duga.

Bekal kayak gini bikin lu nggak cuma jadi penonton, tapi bagian dari cerita. Observasi membuat kita paham kalau seni di kota nggak hidup sendirian—dia tumbuh dari interaksi orang-orang, ruang publik, dan momen kebetulan yang nyambungin semuanya.

Di tengah Jakarta yang sibuk, mungkin seni cuma nyempil di sela-sela kesibukan kita. Tapi kalau mau meluangkan waktu, duduk, melihat, dan menyimak, kita akan sadar: yang kita bawa pulang bukan cuma kenangan visual, tapi potongan kehidupan yang layak diceritakan lagi.

Dan siapa tahu, besok giliran kita yang bikin cerita itu.

Tim Kemalaman di New York's Time Square (2014)
Tim Kemalaman di New York's Time Square (2014)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun