Mohon tunggu...
Rinrin
Rinrin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelayu yang Dinanti-nanti

6 November 2023   17:21 Diperbarui: 13 November 2023   14:23 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera kuning (sumber gambar ggwp.id)

Uap panas mengepul dari teh hijau kesukaan Bapak dan kopi hitam favorit Mas Eka, tapi keduanya tak sampai menghabiskannya, mungkin baru sekali teguk ketika sebuah gedoran pintu mengintervensi rutinitas kami. Cita rasa teh dan kopi seakan berubah kenikmatannya terkontaminasi oleh kabar mencengangkan yang dibawa seorang warga hingga membuat Bapak dan suamiku tak lagi berselera meminumnya. Aroma khas kedua minuman itu mengabur bersama udara segar taman belakang tanpa sempat dihisap nikmat para empunya.

Matahari sudah menggeliat keluar dari sangkarnya, hari mulai hidup kulihat dari teras lantai atas di setiap halaman rumah tetangga, ibu-ibu ramai berkumpul. Tidak, mereka bukan sedang mengerubungi tukang sayur ataupun gerobak bubur. Rupanya kabar penemuan mayat lelaki digantung dengan posisi kaki di atas, di bawah salah satu jembatan penghubung antar kampung yang diyakini korban pembunuhan itu telah menyebar cepat ke seantero desa. Tadi pun Bapak dan Mas Eka pergi ke tempat penemuan mayat itu. 

"Pak Zul sudah ke sana, Mbak?" tanya Bu Anis, tetanggaku, dari bawah. Aku mengangguk, "Sudah, dengan Mas Eka juga."

Ia menyunggingkan senyum, rautnya begitu ringan tak menampakkan kedukaan. "Padahal nggak perlu ada polisi-polisi, Mbak. Kami tanpa diungkap pelakunya juga nggak masalah. Bersyukur ya Gusti, dia cepat mati!"

Aku menelan ludah, terkesan tak punya hati berbahagia di atas kematian orang lain. Namun, aku paham karena semua warga desa tahu betul reputasi orang yang telah jadi mayat itu. Entahlah apakah kami memang harus berbahagia dengan kematiannya atau tetap menyisakan rasa duka walaupun setitik saja, mengingat kelakuannya selama setahun terkahir ini sulit termaafkan. Fatal, biadab.


"Tapi 'kan masih ada keluarganya, Bu," timpal anaknya, Mbak Eli, tak jauh dari tempat ibunya mematung sendirian.

Bu Anis mengendikkan bahu, lalu pergi bergabung dengan warga lain, terlihat jelas ia tak menaruh minat lebih dengan kelanjutan kasus pembunuhan itu.

***

Tak lama selepas magrib Bapak dan Mas Eka pulang berbekal wajah begitu lelah. Sebenarnya tadi siang suamiku sempat pulang hanya untuk mengganti pakaian dengan seragam polisinya. Namun, kami tidak punya banyak waktu untuk berbincang soal kelanjutan mayat itu. Bapak yang merupakan kepada desa, selain masuk kantor, juga ikut mengurus segala sesuatunya termasuk mengantar pihak-pihak yang dijadikan saksi oleh kepolisian. Setelah makan malam ketika semuanya sudah cukup santai, kami duduk berkumpul di ruang keluarga.

"Kata warga leher Ki Ozi digorok, hampir putus. Apa benar, Mas?" tanyaku ingin memastikan informasi yang sebelumnya telah didengar dari tetangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun