Sesekali kami bertiga terlibat dalam pembicaraan. "Mi..," aku memanggil istriku. "Tangan kamu cekatan sekali. Seperti sudah terbiasa", ujarku. Aku mengajukan pertanyaan tersebut, karena saat menjadi istriku, dia hanya menjadi ibu rumah tangga dan membantu pekerjaan administrasi usahaku.
"Halah...kamu saja yang tidak tahu." jawab istriku. "Dari kecil aku sudah diajari Ibu berjualan. Sepulang sekolah, aku diwajibkan membantu Ibu bersih-bersih warung. Juga diajari melayani pembeli." istriku melanjutkan.
"Kalau sore hari, aku diajak berbelanja ke pasar, sambil mengantar dagangan ke bakul-bakul pasar." kata istriku sambil terus beraktifitas. "Ibu selalu mengajari aku untuk menjadi perempuan yang kuat dan mandiri. Satu pesan yang tidak bisa aku lupakan, dan kini aku alami adalah saat Ibu berkata , tidak selamanya keberuntungan itu berpihak kepada kita. Ada masa dimana kita mengalami kesulitan dan cobaan. Terutama setelah kamu berkeluarga. Kalau kamu tidak belajar menjadi perempuan mandiri, saat cobaan itu datang, kamu tidak akan kuat." ujar istriku panjang lebar.
"Aku juga baru menyadari itu semua saat ini. Ibu Sekolah Pertamaku menjalani kehidupan ini. Bukan mengajari disaat kita bahagia, tetapi mengajari bagaimana kita menghadapi kesulitan." lanjut istriku. Kulihat mata istriku berkaca-kaca.
Ohh..aku menghela nafas. Pertanyaan yang selama ini berkecamuk dalam hatiku telah menemukan jawabannya. Terima kasih istriku sayang, engkau masih tetap berjalan menyemangati hidupku.
Â
