Aku melihat anak-anak manusia menangis di ruang-ruang kelas, di bangsal rumah sakit. Tak sanggup bertahan dalam keracunan berkepanjangan. Makan seharusnya menguatkan, di angkasa menjadi racun mematikan.Â
Anak-anak berhenti bermain, orang tua kebingungan, sekolah-sekolah gaduh menyelamatkan ratusan penghuni sekolah yang tak sanggup menegakkan badan, terpaksa terkapar, meringik kesakitan. Makan-makan bergizi telah menjelma menjadi racun memaksa tetesan air mata terus berlinang. Sekolah-sekolah menjadi ruang yang begitu menakutkan, sekolah-sekolah menjadi ruang memabukkan untuk mencari keuntungan, sekolah-sekolah tak lagi sanggup menjadi ruang yang menyelamatkan anak-anak bangsa. Racun-racun tidak lagi begitu menakutkan tetapi telah menguasai ruang kelas. Sementara kita terdiam dan hanya sibuk menghitung kerugian, sementara angka-angka ribuan tak lagi menyadarkan kita.Â
Kita begitu angkuh dengan sebuah rencana, tujuan mulia seolah membungkus segala prasangka dan menumpulkan akan sehat untuk sebentar membuka mata, bahwa begitu banyak orang tua yang khawatir atas buah hatinya, begitu banyak sekolah yang harus bergulat menumbuhkan semangat anak-anak untuk kembali mengejar impian. Kita tak lagi sanggup berdiri dan memihak kepada mereka yang begitu dilemahkan dan direndahkan. Beruntung, aku hanya hidup sebagai seekor domba yang hanya butuh rumput menghijau di pematang-pematang sawah. Aku berdoa untuk negeriku dan para penguasanya.Â
Kita tak lagi sanggup berdiri dan memihak kepada mereka yang begitu dilemahkan dan direndahkan. Beruntung, aku hanya hidup sebagai seekor domba yang hanya butuh rumput menghijau di pematang-pematang sawah.Â
Sekawanan domba menikmati senja. Tidak ada kesedihan, tidak ada tetesan air mata, saat keindahan alam dalam rangkaian hari yang terus berputar menyediakan seberkas tanda cinta. Cahaya sore menganga, membuka lebar kegelapan yang mengiba kepada matahari. Rasanya menghadirkan senja terasa begitu indah dan melupakan cerita-cerita basi tentang anak negeri yang terhenti menjadi manusia berbudi. Saat senja, sekawanan domba  begitu saja melupakan derita, derita anak-anak yang sanggup lagi bertahan dalam keputusasaan orang tua. Â
Aku hanyalah domba dan sekawanan domba yang menikmati senja. Duduk terlena dalam derasnya keindahan alam semesta, sementara para manusia berlomba mencari mangsa, memupus mimpi anak-anak bangsa. Aku tetap saja terdiam dalam kebusukan yang begitu memilukan. Aku hanya bisa menikmati senja.Â
Aku, sekawanan domba yang menikmati senja.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI