Mohon tunggu...
Arif Rahman
Arif Rahman Mohon Tunggu... Wiraswasta - instagram : @studywithariffamily

Bekerja untuk program Educational Life. Penelitian saya selama beberapa tahun terakhir berpusat pada teknologi dan bisnis skala kecil. Creator Inc (Bentang Pustaka) dan Make Your Story Matter (Gramedia Pustaka) adalah buku yang mengupas soal marketing dan karir di era sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Money

Mereduksi Animal Spirit

29 Juli 2019   09:39 Diperbarui: 29 Juli 2019   09:43 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 2011, Jeffery Frankel berkunjung ke Bali. Menurutnya negara berkembang seperti Indonesia harus berhati-hati karena krisis bergerak berdasarkan siklus 15 tahunan, dimana 6-7 tahun capital inflow dan ekonomi bertumbuh namun 6-7 tahun berikutnya akan terjadi krisis. 

Pernyataan  Professor dari Harvard University ini kemudian saya sampaikan kepada Faisal Basri, ketika saya berkesempatan mewawancarainya di tahun yang sama. Pengamat ekonomi politik dan juga pemilik gelar Master of Arts (M.A.) dalam bidang ekonomi dari Vanderbilt University, Amerika ini, kemudian menjawab dengan mengambil selembar kertas, kemudian membuat grafik berikut :

Dulu perekonomian bergerak seperti ini [gambar diatas], ada masa depresi dan ada masa boom. Namun sekarang pergerakan ekonomi itu seperti ini [gambar di bawah] :

Dokpri
Dokpri
"Ada masa boom, kemudian krisis dan masa recovery-nya panjang," ujar pak Faisal. Artinya, situasi yang terjadi akan menjadi pola yang kemungkinan akan berulang dimasa depan. 

Dengan kondisi dimana kita seolah bisa meramalkan apa yang nanti akan terjadi, maka pertanyaan berikutnya yang saya ajukan adalah, apa yang sebaiknya kita lakukan untuk mengantisipasi ini, terlebih saat ini, banyak investor di Indonesia yang cenderung berinvestasi melalui indeks ekuitas (produk derivatif di pasar modal atau pasar uang).

Kata pak Faisal," itu sah-sah saja bagi setiap orang (berinvestasi di indeks), namun nggak bagus untuk ekonomi, kalau Anda punya uang berlebih, beli saham atau kamu taruh uang berlebih itu di deposito, kan nanti oleh bank uang tersebut diputar, ekonomi berjalan. 

Selama ini kan tradisinya orang Indonesia selalu ikut asing, jadi kalau asing membeli, kita ikut membeli, kalau asing menjual kita juga jual, akhirnya jadi follower yang rugi terus. 

Kalau investor beneran, mostly nggak akan rugi kok. Kita bisa aman kalau kita disiplin. Taruh saja uang di deposito, SUN atau Saham. Dan yang membuat aman kalau kita bisa menjaga proporsi ini. Bukan kapan harus beli dan jual saham, nggak begitu."

Jawaban beliau terdengar klise, namun ia memberikan satu penekanan yang menurut saya menarik. Ia melanjutkan, "spekulan seperti Anda cerita tadi (investor di produk derivatif), itu refleksi pergeseran dari kapitalisme berbasis produksi ke kapitalisme berbasis keuangan. 

Makanya saya bilang, kapitalisme akan selalu menghasilkan krisis. Seorang pemenang nobel mengistilahkan ini dengan Animal Spirit. Pelaku ekonomi yang katanya rasional itu, sebenarnya justru irasonal. 

Coba beli reksadana saja, itu rata-rata return-nya 2,5% per tahun, itu sudah bisa buat nyekolahin anak kalau Anda disiplin. Sisihkan saja 15% dari pendapatan, yang penting disiplin, bukan jual beli harian."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun