Sebagai warga negara Indonesia, tentu kita sepakat bahwa Bahasa Indonesia bukan hanya bahasa pemersatu, tetapi juga bagian dari identitas dan kedaulatan bangsa. Namun ironisnya, di tengah semangat internasionalisasi perguruan tinggi, Bahasa Indonesia justru sering kali dikesampingkan, terutama dalam penulisan karya ilmiah.
Dalam banyak seminar dan diskusi akademik yang saya ikuti, sering terdengar anggapan bahwa menulis dalam bahasa Inggris dianggap lebih "bergengsi" dan "bernilai akademik". Sementara menulis dalam Bahasa Indonesia cenderung dianggap lokal dan kurang dihargai. Ini menjadi pertanyaan besar: apakah Bahasa Indonesia tidak cukup layak menjadi bahasa ilmu?
Padahal, jika kita kembali pada regulasi, peran Bahasa Indonesia sudah sangat jelas. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, disebutkan bahwa "Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta, termasuk dalam penulisan karya ilmiah" (Pasal 26 Ayat 1). Aturan ini ditegaskan kembali dalam Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 yang menyebut bahwa Bahasa Indonesia harus digunakan dalam laporan kegiatan akademik dan ilmiah di lembaga pendidikan tinggi.
Namun mengapa aturan ini belum sepenuhnya dijalankan?
Bahasa Ilmu yang Terpinggirkan
Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan bahwa sebagian besar jurnal ilmiah terakreditasi nasional (SINTA) sudah menggunakan sistem bilingual, dan sebagian bahkan sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris. Menulis dalam jurnal internasional memang penting untuk visibilitas dan peringkat institusi. Tapi jika itu dijadikan satu-satunya tolok ukur keberhasilan akademik, kita akan kehilangan akar: identitas keilmuan yang berbasis budaya dan bahasa sendiri.
Bukan berarti kita menolak internasionalisasi. Tentu saja penting bagi dosen dan mahasiswa untuk terlibat dalam forum akademik global. Tapi kita juga harus sadar bahwa membangun tradisi akademik nasional tidak bisa dilakukan dengan mengabaikan bahasa nasional. Jepang, Jerman, Prancis, bahkan Tiongkok tetap menggunakan bahasa ibu mereka untuk membangun keilmuan yang kuat dan berdaya saing internasional.
Bahasa untuk Semua, Bukan untuk Elit
Salah satu nilai penting dari penggunaan Bahasa Indonesia dalam karya ilmiah adalah demokratisasi akses ilmu pengetahuan. Jika karya ilmiah hanya ditulis dalam bahasa asing, maka siapa yang bisa membacanya? Tidak semua guru, pelajar, masyarakat umum, atau bahkan pembuat kebijakan daerah memahami bahasa Inggris akademik.
Pengetahuan seharusnya dibagikan seluas-luasnya, dan Bahasa Indonesia adalah jembatan terbaik untuk itu.
Apalagi banyak mahasiswa di luar Jawa atau daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) yang masih kesulitan mengakses referensi atau jurnal ilmiah karena kendala bahasa. Menulis karya ilmiah dalam Bahasa Indonesia bukan sekadar formalitas, tapi bentuk kepedulian terhadap pemerataan pendidikan dan literasi akademik di seluruh negeri.