Mohon tunggu...
Arini Adelia
Arini Adelia Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

suatu hubungan yang diawali dengan kebohongan, tak akan mungkin bertahan selamanya.....!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bersama Hujan

11 Juni 2011   12:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:37 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku kembali menyesap cappuccino hangat di sudut ruang itu. Ruang yang sama di sebuah café ketika aku melihatmu bernyanyi. Suasana yang sama juga seperti waktu itu. Hujan rintik-rintik. Di sudut inilah aku bisa melihatmu dengan jelas. Menikmati alunan nada yang kau mainkan melalui gitarmu, dan juga suara merdu yang tak pernah bisa kulupakan, sambil sesekali menyesap minuman favoritku.

***

“Ada yang mau request lagu?” tiba-tiba suara itu membuyarkan lamunanku.

Sendirian, aku mencoba untuk mengusir penat setelah seharian bekerja. Temanku memberi tahu bahwa ada café yang menyajikan cappuccino ter-enak yang pernah dia rasakan. Tergoda, dan akupun mampir. Sendiri. Aku baru sadar bahwa ada live music disini karena pertanyaan si penyanyi kafe itu. Request lagu? Aku tertawa dalam hati. Sombong benar pemuda ini. Apa dia bisa menyanyikan semua jenis lagu? Kalau begitu, aku mau request.

“November Rain! Bisa?” aku berseru dari sudut ruangan itu.

“Oh. Emm. Yaah. Bisa, Mbak” jawabmu waktu itu.

When I look into your eyes, I can see a love restrained
But darling when I hold you, don’t you know I feel the same…

November Rain mengalun dari bibir itu beserta petikan gitar yang menambah indah suasana. Boleh juga, pikirku. Aku melirik, di luar hujan masih rintik-rintik. Dan suaramu membuatku enggan untuk beranjak. Aku kembali melayangkan pandangan padamu. Pria yang cukup tampan. Ditambah suara yang bagus untuk bernyanyi. Pastilah banyak perempuan yang bermain mata denganmu. Tiba-tiba imajinasiku bergerak liar membayangkan sesuatu. Aku dan kamu di suatu tempat, bercumbu. Ahhh! Pikiran wanita lajang yang berumur seperempat abad. Aku tertawa sendiri. Tapi, kamu memang tampan.

“Ada yang mau request lagi?” tanyamu lagi.

Aku tidak menyadari bahwa lagu permintaanku sudah selesai dinyanyikan. Berikutnya lagu lain kembali mengalun dari bibirmu. Rasanya semakin malas aku beranjak dari sini. Menikmati cappuccino sembari mendengarkan alunan indah darimu, cukuplah untuk mengusir penatku. Tidak terasa malam semakin pekat. Aku memutuskan untuk pulang saja.

“Terima kasih, Mbak. Datang lagi ya,” ujar pramusaji yang membukakan pintu untukku.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Datang lagi? Mungkin saja. Tapi kalau ada pemuda itu, pastilah aku akan sudi mampir kembali. Haha. Aku pun melirik kearah pemuda itu sebelum keluar. Dan pada saat yang bersamaan si tampan membalas tatapan ku sambil melambaikan tangan. Sial!! Aku jadi deg-degan.

‘Cause nothing last forever, and we both know hearts can change

And it’s hard to hold a candle, in the cold November rain…

Walau sudah bukan November, tapi aku selalu memintamu untuk menyanyikan November Rain. Pertemuan demi pertemuan di café itu membuat kita semakin akrab. Bahkan tak jarang kita menghabiskan waktu bersama di tempat-tempat lain. Sekedar karaoke bersama,ataupun bercerita tentang hidup masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun