Mohon tunggu...
Arif Al Anang
Arif Al Anang Mohon Tunggu... Dosen Hukum Ekonomi Syariah Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri

Peziarah makna yang jatuh cinta pada Kalam Ilahi. Dalam sunyi lembar mushaf, ia menemukan gemuruh hidup yang tak terucap. Studi Islam, khususnya Al-Qur’an, bukan sekadar disiplin baginya—melainkan jalan pulang menuju hakikat. Ia hidup di antara kata dan cahaya, menjadikan setiap huruf wahyu sebagai lentera yang menuntunnya melintasi gelap zaman dan bising dunia.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Melacak Jejak Manfaat: Tinjauan Kepemilikan dalam Keuangan Syariah

14 Juli 2025   12:29 Diperbarui: 14 Juli 2025   12:29 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Bayangkan Anda menyewa rumah untuk setahun. Anda tidak memilikinya, tapi Anda mendapatkan manfaat dari menggunakannya: tempat berlindung, ruang hidup, rasa aman. Dalam istilah ekonomi Islam, ini disebut manfa'ah, atau usufruct---hak guna atas suatu aset. Tapi pertanyaannya: bisakah "manfaat" itu dianggap sebagai harta (mal)? Dan jika ya, siapa yang memilikinya?

Pertanyaan ini tidak sekadar akademis. Ini menyentuh jantung dari praktik keuangan syariah, khususnya dalam produk ijarah (sewa guna usaha), yang digunakan secara luas oleh bank syariah dan lembaga keuangan Islam.

Ijarah dan Manfaat yang (Ternyata) Bisa Dicatat

Ijarah bukan hal baru. Ia adalah salah satu instrumen keuangan syariah tertua yang kini meraih popularitas tinggi. Di industri perbankan Islam, sekitar 26% produk pembiayaan berbasis ijarah, dan dalam pasar modal, sekitar 70% sukuk berbasis ijarah (Abdellatif, 2020). Ini artinya, memahami dasar hukumnya sangat krusial.

Namun dalam praktik akuntansi, muncul dilema: ketika seseorang menyewa suatu barang, bagaimana mencatat hak guna atas barang itu? Dalam standar akuntansi internasional (IFRS-16), penyewa mencatatnya sebagai "aset hak guna" (right-of-use asset). Tapi bagaimana dalam perspektif syariah?

Manfa'ah, Mal, dan Milkiyah

Dalam fiqh Islam, istilah mal berarti sesuatu yang bernilai dan dapat dimiliki. Biasanya ini berarti benda fisik (ayn), seperti rumah, kendaraan, atau hewan. Tapi bagaimana dengan manfaat yang timbul dari benda tersebut---seperti tinggal di rumah sewa atau memakai kendaraan pinjaman?

Mayoritas ulama dari mazhab Syafi'i, Hanbali, dan sebagian Maliki menyatakan bahwa manfa'ah adalah mal. Artinya, ia bisa diperjualbelikan, diwariskan, bahkan diwakafkan. Ulama Hanafi klasik menolaknya, karena tidak bisa disimpan atau disentuh. Namun kini, banyak ulama Hanafi modern yang mulai menerima manfa'ah sebagai bentuk harta, apalagi dalam konteks digital seperti hak akses perangkat lunak dan listrik (Usmani, 2015).

Dari sini muncul istilah milkiyah naqisah (kepemilikan tidak sempurna). Seorang penyewa memiliki hak guna (manfa'ah) atas aset, tetapi tidak memiliki benda fisiknya. Artinya, meski tidak punya rumahnya, Anda punya "aset" berupa hak tinggal di rumah itu.

Manfa'ah Kini Masuk Neraca!

Perubahan ini tidak sekadar akademik. Lembaga standar akuntansi syariah internasional, AAOIFI, telah memperbarui standar akuntansi ijarah dari FAS-8 menjadi FAS-32. Dalam standar baru ini, manfa'ah dicatat sebagai aset dalam laporan keuangan penyewa---seperti dalam IFRS-16 pada akuntansi konvensional.

Artinya, bank syariah kini mengakui hak guna atas aset sewa sebagai properti yang bisa dimasukkan ke neraca dan memiliki nilai. Ini menandai langkah penting dalam menyelaraskan akuntansi syariah dengan praktik global, tanpa menyalahi prinsip syariah.

 

Dampaknya Bagi Masyarakat dan Industri

Pembaruan konsep manfa'ah (hak guna) sebagai bagian dari kekayaan (mal) dalam sistem keuangan syariah bukan hanya sebuah perubahan terminologi teknis, tetapi membawa dampak nyata bagi berbagai aspek dalam kehidupan ekonomi kita. Salah satu dampak paling nyata adalah pada transparansi laporan keuangan. Dengan mengakui hak guna sebagai aset, laporan keuangan menjadi lebih representatif, mencerminkan nilai ekonomis yang sebenarnya dimiliki atau dikendalikan oleh suatu entitas. Hal ini penting bagi investor, regulator, dan masyarakat luas agar bisa menilai posisi keuangan lembaga keuangan Islam secara jujur dan menyeluruh.

Selain itu, pengakuan ini juga memberi kepastian hukum dalam kontrak-kontrak leasing atau sewa guna usaha (ijarah). Dalam sistem lama, status kepemilikan atas manfaat barang sewaan seringkali kabur---antara milik penyewa atau pemberi sewa. Dengan standar baru yang lebih eksplisit, seperti FAS-32 dari AAOIFI, maka pihak penyewa dapat secara sah dan terdokumentasi mengakui manfa'ah sebagai miliknya selama masa sewa. Ini mengurangi sengketa, memperjelas hak dan kewajiban, dan memperkuat kepastian hukum dalam akad-akad keuangan.

Implikasinya bahkan meluas ke ranah ibadah sosial seperti wakaf dan zakat. Jika manfa'ah sudah dianggap sebagai bentuk harta, maka ia berpotensi menjadi objek wakaf---misalnya wakaf penggunaan tanah atau bangunan untuk waktu tertentu. Begitu pula zakat atas manfaat bisa dikenakan jika memenuhi syarat-syarat syariah. Ini memberi peluang baru untuk memperluas instrumen-instrumen filantropi Islam agar lebih dinamis, tidak terbatas hanya pada aset fisik yang bersifat permanen.

Dalam lanskap ekonomi digital, pengakuan terhadap manfa'ah sebagai harta membawa angin segar bagi inovasi keuangan digital berbasis syariah. Aset-aset digital seperti hak akses, lisensi perangkat lunak, atau bahkan NFT, kerap kali bernilai lebih besar daripada aset fisik. Dengan dasar syariah yang terbuka terhadap manfaat sebagai bagian dari kekayaan, peluang lahirnya produk-produk fintech syariah yang inovatif menjadi semakin terbuka. Ini menjadi medan baru ijtihad para ahli hukum Islam di era digital.

Secara keseluruhan, pendekatan baru terhadap manfa'ah mengajak kita untuk berpikir ulang tentang hakikat kepemilikan dan nilai. Ia menghapus batas sempit antara yang berwujud dan tak berwujud, yang tetap dan yang sementara. Dalam ekonomi syariah modern, manfaat bukan hanya efek samping dari kepemilikan, tapi bisa menjadi inti dari nilai itu sendiri. Dan ketika syariat mampu merespons perubahan zaman dengan tetap menjaga maqid-nya, di sanalah kita melihat bahwa fiqh bukanlah warisan yang beku, melainkan hidup dan berdenyut di tengah masyarakat yang terus berubah.

Meski pengakuan terhadap manfa'ah (hak guna) sebagai bentuk kekayaan membawa angin segar dalam pengembangan sistem keuangan syariah, namun tidak berarti tanpa tantangan. Salah satu kendala utama terletak pada perbedaan pandangan di kalangan ulama. Sebagian masih mempertanyakan apakah manfaat yang bersifat tidak berwujud dan sementara itu layak disebut sebagai mal (harta) dalam perspektif fikih klasik. Perbedaan interpretasi ini wajar, mengingat tradisi hukum Islam bersandar pada mazhab-mazhab dengan argumentasi yang kuat dan beragam.

Selain itu, adaptasi terhadap standar baru seperti FAS-32 dari AAOIFI juga menuntut kapasitas pemahaman yang memadai dari para praktisi industri dan auditor syariah. Tak semua pelaku industri siap menghadapi perubahan paradigma ini. Diperlukan pelatihan, lokakarya, dan sosialisasi yang mendalam agar pemahaman tentang nilai dan status hukum manfa'ah dapat dikuasai secara tepat, baik secara syariah maupun teknis akuntansi. Tanpa edukasi yang merata, standar ini berisiko hanya menjadi dokumen formal tanpa implementasi efektif.

Lebih jauh, urgensi akan fatwa yang jelas dari otoritas syariah nasional menjadi sangat penting. Setiap negara dengan sistem keuangan syariah perlu memberikan arah yang pasti melalui lembaga fatwa mereka, seperti DSN-MUI di Indonesia atau SC di Malaysia. Tanpa kejelasan hukum, para pelaku industri akan ragu dalam mengadopsi praktik baru ini. Konsistensi antarfatwa juga penting untuk menjamin kepercayaan investor lintas negara dalam industri keuangan syariah global.

Karena itu, meskipun konsep manfa'ah sebagai harta membuka ruang ijtihad yang luas dan bermanfaat, tetap dibutuhkan sinergi antara ulama, akademisi, regulator, dan praktisi industri. Dengan pendekatan kolaboratif, tantangan-tantangan ini bukan menjadi penghalang, melainkan peluang untuk memperkaya diskursus fikih muamalah kontemporer dan memperkuat legitimasi sistem keuangan Islam dalam menjawab dinamika zaman.

Melihat "Harta" dari Sudut Pandang Baru

Dalam dunia yang semakin digital dan tidak berwujud, konsep harta tidak lagi selalu berbentuk fisik. Hak guna, manfaat, bahkan akses informasi kini bisa lebih bernilai dari kepemilikan benda. Syariah, dengan keluwesan dan kedalaman maqaid-nya, terbukti mampu mengikuti perubahan zaman.

Maka, ketika Anda menyewa rumah, menyimpan data di cloud, atau mengakses layanan digital, ingatlah: Anda mungkin sedang "memiliki" sesuatu meski tak menggenggamnya. "Pemilikan dalam syariat bukan hanya apa yang tampak di tangan, tetapi juga apa yang sah dalam akad dan bermanfaat bagi kehidupan."

Refrensi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun