Sebelum seluruh ingatan luruh diterjang waktu, aku ingin mengabadikan seluruhnya di sini.Â
Apa daya ingatan sebatas ingatan? Pupus nanti akhirnya jika seluruh hari berubah malam, umur menjadi tua, dan langit tidak lagi sewajar dan indah saat ini.
Begitulah. Aku ingin membendung kerentanan waktu ini dengan menulis kisah seribu kata kepadamu.
Satu
Kau lahir di sebuah rumah sakit yang tidak jauh dari rumah kontrakan tua nan reot itu. Demi mempertahankan karir dan harapan masa depan yang baik, aku dan ibumu bertahan di rumah itu sampai kamu lahir.
Ibumu tidak sanggup menahan sakit menjelang kelahiranmu sehingga aku memutuskan untuk operasi.Â
Berat memang saat aku membubuhkan tanda tangan kesediaan untuk menanggung resiko operasi kelahiranmu baik bagi ibumu maupun bagi kamu sendiri.Â
Tapi tekatku sudah dibulatkan. Apalagi ibumu terus-terus saja histeris kesakitan.Â
Pukul 14:30 menjelang sore, setelah beberapa menit paling lambat itu berlalu dari hidupku. Aku tak mendengar isak tangismu dari luar pintu yang dikunci dobel-dobel. Sampai pada klimaksnya penantianku, bidan rumah sakit membopong tubuhmu yang mungil, hampir tak bersuara.Â
Aku mengecup keningmu yang masih basah. Selamat datang anakku, ucapku dalam hati.Â
Lega rasanya melihatmu nyata di hadapanku. Bayi perempuan pertama seorang laki-laki yang menjadi ayah di usia 28 tahun. Aku tentu bersyukur kepada Tuhanku.Â