AbstrakÂ
Pembangunan berkelanjutan menuntut adanya integrasi antara pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan sosial. Dalam konteks tersebut, ekonomi lingkungan berperan penting sebagai kerangka analisis yang menjelaskan hubungan timbal balik antara aktivitas ekonomi dan kualitas lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan konsep ekonomi lingkungan dalam studi kelayakan pembangunan infrastruktur, dengan studi kasus pembangunan RSUD Balangan di Provinsi Kalimantan Selatan. Metode yang digunakan adalah studi literatur (literature review) dengan pendekatan deskriptif-analitis, yang mencakup kajian konsep ekonomi lingkungan, metodologi studi kelayakan, integrasi analisis internal-eksternal, serta uji kesesuaian lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan RSUD Balangan memiliki landasan yang kuat secara teknis, finansial, sosial, maupun lingkungan. Analisis internal menegaskan kesiapan sumber daya, manajemen, dan teknologi, sedangkan analisis eksternal menunjukkan dukungan kebijakan nasional, pertumbuhan demografi, kondisi geografis yang strategis, serta faktor sosial budaya masyarakat. Hasil Survei Kepuasan Masyarakat (SKM) dengan nilai 82,53 kategori baik semakin memperkuat legitimasi pembangunan. Uji kesesuaian lahan juga menunjukkan bahwa lokasi pembangunan mendukung secara topografi, aksesibilitas, serta parameter fisik, kimia, dan biologis. Dengan demikian, pembangunan RSUD Balangan dinilai layak dan strategis untuk dilaksanakan, sepanjang disertai dengan perencanaan matang, penguatan manajemen, serta mitigasi dampak lingkungan.
Kata kunci: Ekonomi lingkungan, studi kelayakan, uji kesesuaian lahan, RSUD Balangan, pembangunan berkelanjutan.
PENDAHULUANÂ
A. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan telah menjadi paradigma utama dalam perencanaan pembangunan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Paradigma ini menekankan pentingnya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan sosial (Amsari, S dkk., 2024). Dengan kata lain, pembangunan tidak lagi hanya dipandang sebagai peningkatan indikator ekonomi seperti PDB atau tingkat investasi, tetapi juga harus menjamin keberlanjutan ekosistem dan kualitas hidup masyarakat dalam jangka panjang. Konsep pembangunan berkelanjutan sendiri mendapatkan legitimasi global melalui Deklarasi Rio de Janeiro tahun 1992 dan Sustainable Development Goals (SDGs) 2015--2030, yang salah satu fokus utamanya adalah menjaga keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Indonesia, sebagai negara berkembang dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, menghadapi tantangan besar untuk mengimplementasikan prinsip ini, terutama dalam mengelola pembangunan infrastruktur dan layanan public (Irham, F dkk., 2024).
Dalam konteks tersebut, ekonomi lingkungan hadir sebagai disiplin ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara sistem ekonomi dan sistem lingkungan. Ilmu ini memberikan kerangka teoretis untuk memahami bagaimana aktivitas ekonomi, seperti industrialisasi, pertanian, dan pembangunan infrastruktur, dapat memengaruhi kualitas lingkungan, serta bagaimana kondisi lingkungan pada gilirannya berdampak pada kinerja ekonomi. Misalnya, degradasi lingkungan akibat eksploitasi hutan dapat mengurangi ketersediaan sumber daya air dan menyebabkan bencana ekologis seperti banjir atau longsor, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian ekonomi besar. Dengan demikian, ekonomi lingkungan menuntut adanya perhitungan nilai lingkungan dalam perencanaan pembangunan, sehingga setiap aktivitas ekonomi tidak hanya dihitung dari sisi keuntungan finansial, tetapi juga dari biaya lingkungan yang mungkin timbul.
Menurut Andin, I. W Â dkk., (2024), kesadaran akan pentingnya ekonomi lingkungan semakin meningkat seiring dengan maraknya fenomena kerusakan lingkungan akibat pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Kasus pencemaran udara di kota-kota besar akibat industri dan transportasi, degradasi lahan akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan, serta perubahan iklim global yang memengaruhi produktivitas pertanian merupakan contoh nyata eksternalitas negatif dari aktivitas ekonomi. Hal ini menegaskan perlunya pendekatan pembangunan yang lebih holistik, di mana aspek lingkungan tidak lagi ditempatkan sebagai faktor eksternal, tetapi menjadi bagian integral dari proses perencanaan. Konsep green economy (ekonomi hijau) dan circular economy (ekonomi sirkular) kemudian muncul sebagai strategi untuk mengurangi dampak negatif pembangunan, dengan cara mendorong efisiensi energi, daur ulang sumber daya, serta pengurangan limbah.
Di sisi lain, setiap proyek pembangunan memerlukan kajian yang mendalam untuk memastikan kelayakannya. Studi kelayakan menjadi instrumen penting dalam proses ini karena mencakup analisis dari berbagai aspek: teknis, finansial, ekonomi, sosial, hukum, hingga lingkungan. Tujuan utama studi kelayakan adalah memberikan gambaran komprehensif bagi para pengambil keputusan, apakah sebuah proyek layak dilaksanakan, perlu ditunda, atau bahkan dibatalkan. Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, studi kelayakan tidak hanya berorientasi pada profitabilitas jangka pendek, tetapi juga menilai keberlanjutan jangka panjang, termasuk risiko kerusakan lingkungan dan dampak sosial. Dengan demikian, keberadaan studi kelayakan menjadi bentuk penerapan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam pembangunan (Damanik, Z. G., & Hardi, S. C., 2025).
Dalam konteks pembangunan infrastruktur kesehatan, studi kelayakan menjadi semakin penting karena menyangkut pelayanan dasar bagi masyarakat. Pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Balangan di Provinsi Kalimantan Selatan menjadi salah satu contoh nyata bagaimana prinsip ekonomi lingkungan dan studi kelayakan harus diintegrasikan. Proyek ini bukan hanya persoalan penyediaan fasilitas kesehatan semata, tetapi juga menyangkut perencanaan tata ruang, dampak lingkungan, serta keterkaitan dengan pertumbuhan demografi dan kebutuhan sosial masyarakat. Kabupaten Balangan sendiri memiliki jumlah penduduk lebih dari 130 ribu jiwa dengan tingkat pertumbuhan yang cukup signifikan, sehingga kebutuhan terhadap layanan kesehatan yang memadai terus meningkat. Dalam hal ini, pembangunan RSUD Balangan diharapkan tidak hanya menjadi solusi atas keterbatasan akses kesehatan, tetapi juga menjadi bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara seimbang.
Dengan memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi lingkungan, studi kelayakan, dan evaluasi kesesuaian lahan, pembangunan RSUD Balangan dapat memberikan manfaat ganda. Di satu sisi, rumah sakit ini akan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat dan memperkuat infrastruktur dasar di daerah. Di sisi lain, proses perencanaan yang matang akan meminimalkan risiko kerusakan lingkungan serta memastikan penggunaan sumber daya yang efisien. Hal ini sejalan dengan agenda nasional dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia melalui sistem kesehatan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan. Dengan demikian, pembangunan RSUD Balangan tidak hanya memiliki dimensi teknis dan sosial, tetapi juga mencerminkan implementasi nyata dari paradigma pembangunan ekonomi berkelanjutan di tingkat daerah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, beberapa permasalahan dapat diidentifikasi sebagai fokus kajian dalam penelitian ini:
- Bagaimana konsep ekonomi lingkungan dapat diintegrasikan dalam proses perencanaan pembangunan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan?
- Apa saja komponen dan metodologi yang diperlukan dalam melakukan studi kelayakan yang komprehensif untuk proyek pembangunan infrastruktur?
- Bagaimana cara mengevaluasi faktor-faktor internal dan eksternal dalam studi kelayakan proyek untuk memastikan keberhasilan implementasi?
- Apa saja parameter dan metodologi yang tepat untuk melakukan uji kesesuaian lahan dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan?
- Bagaimana penerapan prinsip-prinsip ekonomi lingkungan dan studi kelayakan dalam kasus pembangunan RSUD Balangan dapat memberikan pembelajaran untuk proyek-proyek serupa?
C. Tujuan Penelitian
- Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis integrasi konsep ekonomi lingkungan dengan metodologi studi kelayakan dalam perencanaan proyek pembangunan berkelanjutan, dengan mengambil studi kasus pembangunan RSUD Balangan di Provinsi Kalimantan Selatan.
- Tujuan Khusus
- Mengkaji konsep dasar ekonomi lingkungan dan relevansinya dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan, termasuk prinsip-prinsip fundamental dan implementasinya dalam berbagai sektor ekonomi
- Menganalisis komponen dan metodologi studi kelayakan proyek yang mencakup aspek teknis, ekonomi, finansial, hukum, sosial, dan lingkungan
- Mengevaluasi faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kelayakan proyek serta mengembangkan kerangka analisis terintegrasi untuk penilaian risiko dan peluang.
- Mengkaji metodologi uji kesesuaian lahan sebagai bagian integral dari studi kelayakan, termasuk parameter evaluasi dan teknik analisis yang dapat diterapkan dalam berbagai konteks penggunaan lahan.
- Menganalisis penerapan konsep ekonomi lingkungan dan studi kelayakan dalam kasus pembangunan RSUD Balangan, termasuk evaluasi aspek kebijakan, demografi, geografi, sosial budaya, dan kepuasan masyarakat.
METODEÂ
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi literatur (literature review) dengan sifat deskriptif-analitis, yakni sebuah metode penelitian yang berfokus pada pengumpulan, pengkajian, dan analisis kritis terhadap sumber-sumber pustaka yang relevan. Pemilihan metode ini didasarkan pada tujuan penelitian yang ingin menggali pemahaman mendalam mengenai konsep ekonomi lingkungan, studi kelayakan, integrasi analisis internal-eksternal, serta uji kesesuaian lahan dalam konteks pembangunan infrastruktur kesehatan. Studi literatur memberikan fleksibilitas bagi peneliti untuk mengeksplorasi teori, prinsip, dan temuan empiris dari penelitian terdahulu sebagai landasan dalam menyusun kerangka analisis yang komprehensif.
Menurut Ridwan, M dkk., (2021), dalam pelaksanaannya, studi literatur dilakukan melalui proses sistematis yang dimulai dari identifikasi sumber pustaka yang relevan, baik berupa buku, jurnal ilmiah, laporan penelitian, dokumen kebijakan, maupun publikasi resmi pemerintah. Setelah tahap identifikasi, dilakukan evaluasi kritis terhadap kualitas dan kredibilitas sumber, termasuk keaslian, keterkinian, serta relevansinya terhadap topik yang diteliti. Tahap berikutnya adalah analisis dan sintesis, di mana peneliti tidak hanya merangkum informasi, tetapi juga membandingkan, menghubungkan, serta mengintegrasikan berbagai temuan untuk menemukan pola, kesenjangan, dan keterkaitan antar konsep. Dengan cara ini, penelitian tidak hanya menjadi kumpulan informasi, tetapi menghasilkan pemahaman baru yang terstruktur.
Metode studi literatur memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan metode lain, khususnya dalam penelitian yang menekankan pada pengembangan konsep dan teori. Pertama, metode ini mampu menyajikan gambaran luas mengenai perkembangan pengetahuan dalam suatu bidang secara historis maupun kontemporer. Kedua, studi literatur memungkinkan peneliti untuk menemukan kesenjangan penelitian (research gap) yang dapat menjadi dasar bagi penelitian lanjutan. Ketiga, pendekatan ini lebih efisien dari sisi biaya dan waktu, karena tidak membutuhkan pengumpulan data primer secara langsung, namun tetap dapat menghasilkan analisis yang mendalam.
Selain itu, studi literatur juga memiliki fungsi penting dalam memberikan landasan konseptual bagi penelitian. Melalui telaah pustaka, peneliti dapat mengkaji prinsip-prinsip ekonomi lingkungan, seperti keberlanjutan, internalisasi eksternalitas, dan valuasi sumber daya alam, serta menghubungkannya dengan praktik studi kelayakan proyek. Dengan demikian, penelitian ini dapat menunjukkan bagaimana teori diaplikasikan pada kasus nyata pembangunan RSUD Balangan. Pendekatan deskriptif-analitis dalam studi literatur juga memungkinkan peneliti untuk tidak hanya mendeskripsikan isi literatur, tetapi sekaligus menganalisis relevansinya dalam konteks permasalahan yang diteliti.
HASIL DAN PEMBAHASANÂ
Menurut Fisco, Y dkk., (2025), ekonomi lingkungan merupakan cabang ilmu ekonomi yang secara khusus mempelajari hubungan timbal balik antara sistem ekonomi dengan sistem lingkungan hidup. Bidang ini hadir dari kesadaran bahwa kegiatan ekonomi manusia tidak pernah terlepas dari pemanfaatan sumber daya alam dan jasa lingkungan, sehingga keberlanjutan ekonomi sangat ditentukan oleh keberlanjutan lingkungan itu sendiri. Dengan kata lain, ekonomi lingkungan berusaha menjawab bagaimana aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi berpengaruh terhadap kualitas lingkungan, serta bagaimana kondisi lingkungan dapat memperkuat atau justru menghambat kinerja ekonomi suatu negara atau wilayah.
Dalam kajian ekonomi lingkungan, lingkungan tidak lagi dipandang sekadar sebagai gudang sumber daya yang bisa dieksploitasi tanpa batas, melainkan sebagai sistem ekologi yang kompleks dengan fungsi vital bagi kehidupan manusia. Lingkungan menyediakan berbagai jasa ekosistem, seperti penyediaan air bersih, penyerapan karbon, siklus hara, serta keanekaragaman hayati yang menjadi dasar bagi produksi pangan dan obat-obatan. Jika jasa-jasa ini rusak atau hilang, maka akan menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang besar, baik dalam bentuk bencana lingkungan, penurunan produktivitas, maupun peningkatan biaya kesehatan masyarakat.
Setiap aktivitas ekonomi memiliki dua sisi dampak terhadap lingkungan, yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak negatif dikenal sebagai eksternalitas negatif, yaitu biaya sosial yang ditanggung masyarakat akibat aktivitas ekonomi tetapi tidak masuk dalam perhitungan biaya produksi pelaku usaha. Contoh eksternalitas negatif meliputi pencemaran udara dari asap kendaraan dan industri, pencemaran air dari limbah cair pabrik, kerusakan habitat akibat penebangan hutan liar, hingga degradasi tanah karena praktik pertanian yang tidak ramah lingkungan. Sebaliknya, dampak positif atau eksternalitas positif juga dapat muncul, misalnya dari program penghijauan, upaya konservasi tanah dan air, atau pengembangan teknologi ramah lingkungan yang menekan polusi sekaligus meningkatkan efisiensi ekonomi.
Ekonomi lingkungan juga menekankan pentingnya konsep biaya lingkungan (environmental cost). Biaya ini seringkali tidak terlihat secara langsung, tetapi sangat nyata dalam jangka panjang. Misalnya, biaya kerusakan lingkungan akibat banjir karena alih fungsi lahan, atau meningkatnya biaya kesehatan masyarakat akibat polusi udara. Oleh karena itu, pendekatan ekonomi lingkungan berusaha menginternalisasikan biaya eksternal ini ke dalam sistem ekonomi melalui berbagai instrumen kebijakan, seperti pajak lingkungan, mekanisme perdagangan emisi, sistem kompensasi, hingga pemberian subsidi bagi penggunaan energi bersih.
Selain itu, ekonomi lingkungan memperkenalkan prinsip keberlanjutan (sustainability) sebagai landasan penting. Prinsip ini menekankan bahwa aktivitas ekonomi harus mampu memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini mendorong lahirnya gagasan pembangunan berkelanjutan, yang mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam satu kesatuan. Misalnya, pembangunan industri yang tidak hanya mengejar keuntungan finansial, tetapi juga memperhatikan aspek sosial dan dampak ekologis jangka panjang.
Dalam praktiknya, ekonomi lingkungan juga berkembang melalui penerapan konsep ekonomi hijau (green economy) dan ekonomi sirkular (circular economy). Ekonomi hijau menekankan pertumbuhan ekonomi rendah karbon, efisiensi dalam penggunaan sumber daya, serta inklusif secara sosial. Sedangkan ekonomi sirkular mengutamakan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle), yaitu mengurangi penggunaan sumber daya, menggunakan kembali produk, serta mendaur ulang limbah agar bisa kembali ke siklus produksi. Kedua konsep ini menjadi strategi nyata dalam mewujudkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
- Prinsip-Prinsip Ekonomi Lingkungan
Menurut Maulana, L dkk., (2024), prinsip-prinsip fundamental dalam ekonomi lingkungan menjadi dasar pijakan dalam merancang kebijakan dan praktik pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu prinsip utama adalah prinsip keberlanjutan (sustainability). Prinsip ini menekankan bahwa kegiatan ekonomi yang dilakukan pada saat ini tidak boleh mengorbankan hak generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, setiap pengambilan keputusan ekonomi harus mempertimbangkan dampak jangka panjang, baik terhadap lingkungan maupun terhadap kesejahteraan masyarakat. Misalnya, dalam pengelolaan hutan, eksploitasi kayu harus diimbangi dengan upaya reboisasi agar fungsi ekologis hutan tetap terjaga.
Prinsip kedua adalah prinsip internalisasi eksternalitas, yang mengharuskan setiap pelaku ekonomi bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan yang dihasilkan dari aktivitasnya. Selama ini, banyak aktivitas ekonomi menimbulkan eksternalitas negatif seperti polusi udara, pencemaran air, atau kerusakan lahan, namun biaya tersebut ditanggung oleh masyarakat luas, bukan oleh pelaku usaha. Dengan adanya internalisasi eksternalitas, biaya tersebut harus dihitung dan ditanggung oleh pihak yang menimbulkannya. Instrumen yang biasa digunakan untuk menerapkan prinsip ini meliputi pajak lingkungan, sistem perdagangan emisi, denda bagi pelanggar, serta subsidi bagi perusahaan yang berinvestasi pada teknologi bersih.
Prinsip berikutnya adalah prinsip valuasi ekonomi sumber daya alam dan jasa ekosistem. Sering kali, jasa lingkungan seperti penyerapan karbon oleh hutan, penyediaan air bersih oleh daerah aliran sungai, atau fungsi perlindungan pantai oleh ekosistem mangrove tidak dihargai secara ekonomi, padahal memiliki nilai vital bagi keberlangsungan hidup manusia. Dengan adanya valuasi ekonomi, jasa ekosistem dapat dihitung nilainya sehingga masuk dalam pertimbangan kebijakan dan perencanaan. Misalnya, studi valuasi menunjukkan bahwa nilai ekonomi ekosistem mangrove jauh lebih besar jika dibiarkan lestari dibandingkan dialihfungsikan menjadi tambak, karena mangrove menyediakan jasa perlindungan pantai, keanekaragaman hayati, dan potensi ekowisata.
Selain tiga prinsip utama tersebut, terdapat pula prinsip pencegahan (precautionary principle) yang menekankan pentingnya mencegah kerusakan lingkungan sebelum terjadi. Prinsip ini lebih mengutamakan tindakan preventif dibandingkan tindakan kuratif, karena biaya memperbaiki kerusakan lingkungan umumnya jauh lebih besar dibandingkan biaya pencegahannya. Dengan demikian, setiap kegiatan ekonomi perlu dilengkapi dengan analisis dampak lingkungan yang matang sebelum dilaksanakan. Prinsip lainnya adalah polluter pays principle, yaitu pihak yang mencemari lingkungan wajib membayar biaya pemulihan kerusakan yang ditimbulkan. Prinsip ini mendorong terciptanya keadilan lingkungan sekaligus memberikan insentif ekonomi agar pelaku usaha lebih berhati-hati dalam mengelola aktivitas produksinya.
- Implementasi dalam Aktivitas Ekonomi
Menurut Rio, M. (2024), prinsip-prinsip ekonomi lingkungan telah banyak diimplementasikan dalam berbagai sektor ekonomi. Pada sektor industri, penerapan konsep produksi bersih (clean production) dan efisiensi sumber daya menjadi salah satu langkah nyata. Industri berupaya mengurangi emisi, limbah, dan penggunaan energi fosil dengan mengganti teknologi lama yang boros dengan teknologi ramah lingkungan. Contoh implementasi adalah penerapan energi terbarukan dalam proses produksi, pemanfaatan limbah sebagai bahan baku baru, serta penggunaan sistem manajemen lingkungan berbasis standar internasional seperti ISO 14001.
Dalam sektor pertanian, konsep pertanian berkelanjutan mulai banyak dikembangkan. Praktik ini mencakup penggunaan pupuk organik, rotasi tanaman untuk menjaga kesuburan tanah, penggunaan teknologi irigasi hemat air, serta pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk mengurangi ketergantungan pada pestisida kimia. Pertanian berkelanjutan tidak hanya menjaga produktivitas tanah dalam jangka panjang, tetapi juga mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan ekosistem sekitar.
Sementara itu, pada sektor jasa dan transportasi, aspek lingkungan diintegrasikan dalam operasional sehari-hari. Misalnya, perusahaan jasa logistik mulai menggunakan kendaraan listrik untuk mengurangi emisi karbon, hotel menerapkan program green hotel dengan efisiensi energi dan pengelolaan sampah, serta sektor pariwisata mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat lokal yang ramah lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi prinsip ekonomi lingkungan tidak terbatas pada sektor berbasis sumber daya alam saja, tetapi juga merambah sektor jasa modern.
Konsep ekonomi hijau (green economy) dan ekonomi sirkular (circular economy) menjadi bentuk nyata penerapan ekonomi lingkungan dalam skala yang lebih luas. Ekonomi hijau mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi yang rendah karbon, hemat energi, efisien dalam penggunaan sumber daya, dan berkeadilan sosial. Negara-negara yang mengadopsi ekonomi hijau berfokus pada transisi energi dari fosil ke terbarukan, transportasi ramah lingkungan, serta pembangunan infrastruktur berkelanjutan. Sementara itu, ekonomi sirkular menekankan pada pengurangan limbah melalui prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Contoh penerapannya dapat dilihat pada perusahaan yang mengolah kembali limbah plastik menjadi produk baru, atau industri fesyen yang mengembangkan sistem produksi dengan bahan daur ulang.
Implementasi prinsip ekonomi lingkungan juga semakin relevan dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, degradasi sumber daya alam, dan pencemaran lingkungan. Pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia, telah mulai mengintegrasikan prinsip ekonomi lingkungan dalam kebijakan pembangunan, seperti melalui kebijakan energi baru terbarukan, program perhutanan sosial, dan inisiatif pengelolaan sampah nasional. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan ekonomi lingkungan tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga memiliki dampak praktis yang nyata dalam menjaga keberlanjutan pembangunan.
B. Studi Kelayakan
Menurut Qamara, L dkk., (2025), studi kelayakan merupakan analisis komprehensif yang dilakukan untuk menilai kemungkinan keberhasilan suatu proyek atau investasi sebelum implementasi dilakukan. Studi ini mencakup evaluasi dari berbagai aspek, termasuk aspek teknis, ekonomi, finansial, hukum, sosial, dan lingkungan. Tujuan utama studi kelayakan adalah memberikan informasi yang akurat dan objektif kepada pengambil keputusan untuk menentukan apakah suatu proyek layak untuk dilaksanakan atau tidak.
Ruang lingkup studi kelayakan sangat luas dan dapat disesuaikan dengan jenis dan skala proyek yang akan dilaksanakan. Untuk proyek infrastruktur besar, studi kelayakan harus mencakup analisis dampak lingkungan yang mendalam, evaluasi risiko bencana, dan penilaian dampak sosial terhadap masyarakat sekitar. Untuk proyek industri, fokus utama adalah pada aspek teknis produksi, ketersediaan bahan baku, pasar, dan dampak lingkungan dari proses produksi.
1. Metodologi Studi Kelayakan
Metodologi studi kelayakan umumnya mengikuti pendekatan sistematis yang dimulai dari identifikasi tujuan proyek, pengumpulan data primer dan sekunder, analisis berbagai aspek kelayakan, evaluasi alternatif, dan penyusunan rekomendasi. Setiap tahap memerlukan keahlian khusus dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang relevan.
Tahap identifikasi tujuan proyek meliputi penentuan sasaran yang ingin dicapai, manfaat yang diharapkan, dan kriteria keberhasilan. Pengumpulan data mencakup survei lapangan, wawancara dengan pemangku kepentingan, studi literatur, dan analisis data statistik. Fase analisis melibatkan evaluasi kelayakan dari berbagai aspek menggunakan metode analisis yang sesuai, seperti analisis biaya-manfaat, analisis sensitivitas, dan analisis risiko.
2. Aspek-Aspek dalam Studi Kelayakan
Aspek teknis dalam studi kelayakan mengevaluasi kemampuan teknologi yang akan digunakan, ketersediaan sumber daya teknis, dan kesesuaian teknologi dengan kondisi lokal. Evaluasi ini mencakup penilaian terhadap spesifikasi teknis, kapasitas produksi, efisiensi operasional, dan kebutuhan perawatan. Aspek teknis juga mempertimbangkan ketersediaan tenaga ahli dan infrastruktur pendukung yang diperlukan.
Aspek ekonomi dan finansial melibatkan analisis proyeksi pendapatan dan biaya, tingkat pengembalian investasi, periode pengembalian modal, dan analisis sensitivitas terhadap perubahan parameter ekonomi. Analisis ini menggunakan berbagai indikator seperti Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Benefit Cost Ratio (BCR). Aspek hukum mengevaluasi kesesuaian proyek dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perizinan yang diperlukan, dan potensi konflik hukum.
Aspek sosial menganalisis dampak proyek terhadap masyarakat, termasuk penciptaan lapangan kerja, perubahan pola kehidupan masyarakat, dan distribusi manfaat proyek. Aspek lingkungan mengevaluasi potensi dampak negatif terhadap lingkungan dan upaya mitigasi yang diperlukan. Evaluasi ini menjadi semakin penting dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan komitmen global terhadap perlindungan lingkungan
3. Uji kelayakan eksternal dan internal
a)Uji Kelayakan Internal
Uji kelayakan internal fokus pada analisis faktor-faktor yang berada dalam kendali langsung proyek atau organisasi pelaksana. Analisis ini mencakup evaluasi terhadap sumber daya internal yang tersedia, kemampuan manajemen, sistem operasional, dan kapasitas teknis. Tujuan utama uji kelayakan internal adalah memastikan bahwa organisasi atau proyek memiliki kemampuan yang memadai untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Evaluasi sumber daya manusia menjadi komponen penting dalam uji kelayakan internal. Analisis ini mencakup penilaian terhadap ketersediaan tenaga kerja dengan kualifikasi yang sesuai, sistem rekrutmen dan pengembangan SDM, serta struktur organisasi yang efektif. Kemampuan manajemen dinilai dari pengalaman, track record, dan kompetensi tim manajemen dalam mengelola proyek sejenis.
Aspek keuangan internal meliputi analisis terhadap struktur modal, kemampuan pendanaan, arus kas proyeksi, dan sistem pengendalian keuangan. Evaluasi teknologi internal mencakup ketersediaan infrastruktur teknologi informasi, sistem produksi, dan kemampuan inovasi. Sistem operasional dinilai dari efektivitas prosedur kerja, sistem quality control, dan mekanisme monitoring dan evaluasi.
b)Uji Kelayakan Eksternal
Uji kelayakan eksternal menganalisis faktor-faktor di luar kendali langsung proyek yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi. Faktor eksternal ini meliputi kondisi pasar, kompetisi, regulasi pemerintah, kondisi ekonomi makro, dan faktor lingkungan. Analisis eksternal sangat penting karena perubahan kondisi eksternal dapat secara signifikan mempengaruhi kinerja proyek.
Analisis pasar mencakup evaluasi terhadap ukuran pasar, pertumbuhan pasar, segmentasi konsumen, dan tren permintaan. Studi kompetitor meliputi identifikasi pesaing utama, analisis kekuatan dan kelemahan kompetitor, serta strategi kompetitif yang dapat diterapkan. Faktor regulasi dievaluasi dari stabilitas kebijakan pemerintah, perubahan regulasi yang mungkin terjadi, dan dampaknya terhadap operasional proyek.
Kondisi ekonomi makro yang perlu dianalisis meliputi tingkat inflasi, nilai tukar mata uang, tingkat suku bunga, dan pertumbuhan ekonomi. Faktor sosial politik mencakup stabilitas politik, dukungan masyarakat, dan potensi konflik sosial. Faktor lingkungan eksternal meliputi perubahan iklim, bencana alam, dan regulasi lingkungan yang dapat mempengaruhi operasional proyek.
C. Integrasi Analisi Internal dan Eksternal
Menurut Kurniawan, B. W Â dkk., (2024), integrasi antara analisis internal dan eksternal merupakan langkah krusial dalam menentukan kelayakan sebuah proyek. Hal ini karena sebuah proyek tidak hanya dipengaruhi oleh kekuatan dan kelemahan dari dalam organisasi atau perusahaan, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh dinamika lingkungan eksternal yang mencakup faktor ekonomi, sosial, politik, teknologi, serta lingkungan alam. Dengan menggabungkan kedua perspektif ini, penilaian yang dilakukan menjadi lebih komprehensif dan objektif, sehingga keputusan yang diambil memiliki dasar yang lebih kuat. Analisis internal memberikan gambaran mengenai kapasitas organisasi, sumber daya, serta keterbatasan yang dimiliki, sementara analisis eksternal menyoroti peluang yang dapat dimanfaatkan dan ancaman yang harus diantisipasi.
Salah satu metode yang paling sering digunakan dalam mengintegrasikan kedua perspektif ini adalah analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Analisis ini memungkinkan peneliti maupun pengambil keputusan untuk secara sistematis mengelompokkan faktor-faktor internal dan eksternal, lalu menyusunnya ke dalam kerangka yang mudah dipahami. Dengan begitu, setiap dimensi kelayakan proyek dapat dipetakan dengan jelas. Kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) menjadi representasi dari faktor internal, sementara peluang (opportunities) dan ancaman (threats) mencerminkan faktor eksternal yang ada di luar kendali organisasi.
Hasil dari analisis SWOT bukan hanya berupa daftar faktor internal dan eksternal, tetapi juga berupa rumusan strategi yang bersifat integratif. Terdapat empat jenis strategi utama yang dapat dihasilkan dari kombinasi ini, yaitu strategi SO, WO, ST, dan WT. Strategi SO (Strengths-Opportunities) berfokus pada pemanfaatan kekuatan internal yang dimiliki organisasi untuk mengoptimalkan peluang eksternal. Misalnya, perusahaan dengan sumber daya teknologi tinggi dapat menggunakan inovasi tersebut untuk merespons tren permintaan produk ramah lingkungan di pasar global.
Selanjutnya, strategi WO (Weaknesses-Opportunities) menitikberatkan pada upaya memanfaatkan peluang eksternal guna menutupi atau memperbaiki kelemahan internal. Contohnya, sebuah organisasi dengan keterbatasan modal dapat menjalin kemitraan dengan investor atau lembaga keuangan untuk memanfaatkan peluang pertumbuhan sektor industri tertentu. Dengan demikian, kelemahan internal tidak menjadi penghambat, tetapi justru dapat diminimalkan melalui dukungan eksternal.
Strategi ST (Strengths-Threats) digunakan ketika organisasi berhadapan dengan ancaman eksternal, namun memiliki kekuatan internal yang dapat dimanfaatkan untuk menghadapinya. Misalnya, perusahaan dengan reputasi baik dan basis konsumen yang loyal dapat lebih mudah bertahan menghadapi persaingan ketat dari kompetitor baru. Kekuatan internal yang kuat memungkinkan organisasi untuk tetap kompetitif meskipun dihadapkan pada risiko eksternal yang signifikan.
Sementara itu, strategi WT (Weaknesses-Threats) merupakan strategi defensif yang bertujuan untuk meminimalkan kelemahan internal sekaligus menghindari ancaman eksternal. Jenis strategi ini biasanya diterapkan dalam kondisi kritis, ketika organisasi menghadapi banyak keterbatasan dan lingkungan eksternal yang tidak menguntungkan. Contoh penerapan strategi WT adalah melakukan efisiensi biaya, restrukturisasi organisasi, atau bahkan menunda pelaksanaan proyek sampai kondisi eksternal lebih kondusif.
1) Aspek Eksternal
a) Kebijakan
Pembangunan RSUD Balangan melihat salah satu penjabaran isu pokok pembangunan kesehatan nasional yang tertuang dalam RENSTRA Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes/52/2015. Kementerian Kesehatan mempunyai peran dan berkonstribusi dalam meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Tujuan Kementerian Kesehatan pada tahun 2015-2019 sesuai dengan sasaran RPJMN 2015-2019
Kebijakan pembangunan kesehatan menjamin keberhasilan dan kesinambungan pembangunan kesehatan telah didukung dengan disusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan (RPJP-K) tahun 2005-2025 sebagai penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang nasional (RPJP-N) tahun 2005-2025 dan tentu saja merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Sistem Kesehatan Nasional (SKN).
b) Demografi
Pertumbuhan Demografi suatu wilayah dimana lokasi Rumah Sakit tersebut berada merupakan segmentasi pasar dari layanan kesehatan yang akan diberikan oleh Rumah Sakit tersebut.
Analisis pertumbuhan demografi sebagai segmen pasar dari lavanan rumah sakit yang direncanakan harus melihat kecenderungan pertumbuhan dan kepadatan penduduk. Jumlah penduduk Kabupaten Balangan tahun 2020 berdasarkan Kabupaten Balangan dalam angka Tahun 2021 sebanyak 130.355 jiwa dan Halong merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak.
c) Geografi
Letak secara geografis akan sangat berpengaruh tehadap posisi rumah sakit yang direncanakan Posisi lahan rumah sakit terhadap kondisi lingkungan sekitar baik Utara, Selatan, Barat dan Timur beserta kondisi sarana, prasarana baik sarana kesehatan, perumahan, pendidikan, dan aksesibilitas akan sangat menentukan posisi rumah sakit yang akan dibangun maupun dalam melakukan pengembangan peningkatan lavanan kesehatan kedepannya
Jika dikaji dari dari aspek di atas, maka lokasi lahan rencana RSUD Balangan Provinsi Kalimantan Selatan secara geografis sangat menguntungkan dan akan sangat mendukung dalam pengembangan layanan kesehatan
d) Sosial Budaya
Kajian sosal budaya akan melihat kondisi dan kecenderungan jumlah penduduk Kabupaten Balangan secara umum dan khususnya wilayah pelayanan RSUD Balangan yang direncanakan berdasarkan agama, serta pengaruhnya terhadap kebiasaan, budava, dan pola hidup masyarakat sekitar.
Agama dan sosial budava menjadi landasan spiritual, moral dan etika dalam mendukung pelaksanaan pembangunan fisik/material termasuk dalam pembangunan RSUD Balangan
2) Survei Kepuasan Masyarakat (SKM) Bidang Kesehatan
Pelaksanaan pelayanan publik (public service) pada Pemerintah Kabupaten Balangan, secara umum mencerminkan tingkat kualitas yang baik. Berdasarkan hasil analisis data terhadap data penelitian ini, disimpulkan bahwa Survei Kepuasan Masyarakat (SKM) pengguna layanan Pemerintah Daerah Kabupaten Balangan sebesar 82,53 dan berada pada kategori Baik. Untuk bisa mewujudkan pelaksanaan pelayanan prima diperlukan komitmen untuk melaksanakan transparansi dan akuntabilitas, baik oleh pengambilan keputusan (top manager), pimpinan unit pelaksana dan pelaksana pelayanan publik, untuk selalu berupava memberikan pelayanan secara cepat, tepat, murah, terbuka, sederhana, dan mudah dilaksanakan serta tidak diskriminatif. Melihat hasil analisis survei kepuasan masyarakat (SKM) Bidang Kesehatan maka akan sangat mendukung rencana pembangunan RSUD Balangan di Kabupaten Balangan dan memberi peluang dalam pengembangan pelayanan kesehatan rumah sakit.
D. Uji kesesuaian lahan
Menurut Saidi, B. B., & Suryani, E. (2021), Uji kesesuaian lahan merupakan proses evaluasi untuk menentukan potensi dan keterbatasan lahan bagi penggunaan tertentu. Evaluasi ini melibatkan analisis karakteristik fisik, kimia, dan biologis lahan, serta mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial. Tujuan utama uji kesesuaian lahan adalah mengoptimalkan penggunaan lahan agar sesuai dengan daya dukung dan daya tampungnya.
Prinsip dasar dalam evaluasi kesesuaian lahan meliputi prinsip kesesuaian relatif, yang menyatakan bahwa kesesuaian lahan bersifat relatif tergantung pada jenis penggunaan yang direncanakan. Prinsip evaluasi berkelanjutan menekankan bahwa evaluasi harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan dalam jangka panjang. Prinsip multidisiplin mengharuskan keterlibatan berbagai bidang keahlian dalam proses evaluasi.
1) Parameter Evaluasi Kesesuaian Lahan
Parameter fisik lahan yang dievaluasi meliputi topografi, lereng, ketinggian, drainase, tekstur tanah, kedalaman tanah, dan ketersediaan air. Topografi dan lereng menentukan kesesuaian untuk berbagai jenis penggunaan, seperti pertanian, permukiman, atau industri. Lahan dengan lereng yang curam umumnya tidak sesuai untuk pertanian intensif tetapi dapat sesuai untuk hutan konservasi atau wisata alam.
Parameter kimia tanah mencakup pH tanah, kandungan bahan organic, ketersediaan unsur hara, salinitas, dan kandungan logam berat. Parameter ini sangat penting untuk menentukan kesesuaian lahan bagi pertanian dan juga untuk mengevaluasi potensi pencemaran lingkungan. Parameter biologis meliputi keanekaragaman hayati, keberadaan spesies endemik, dan fungsi ekologis lahan.
Parameter iklim yang perlu dipertimbangkan meliputi curah hujan, suhu, kelembaban, dan pola musim. Faktor-faktor iklim ini sangat menentukan jenis tanaman yang dapat dibudidayakan dan juga mempengaruhi desain infrastruktur yang akan dibangun di atas lahan tersebut. Parameter aksesibilitas mencakup jarak dari pusat ekonomi, ketersediaan infrastruktur transportasi, dan kemudahan akses ke fasilitas publik.
2) Metodologi Evaluasi Kesesuaian Lahan
Metodologi evaluasi kesesuaian lahan dapat dilakukan melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif menggunakan sistem klasifikasi berdasarkan expert judgment dan pengalaman praktis. Metode ini mengkategorikan lahan menjadi kelas-kelas kesesuaian seperti sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3), dan tidak sesuai (N).
Pendekatan kuantitatif menggunakan model matematika dan sistem informasi geografis (SIG) untuk menganalisis data spasial dan atribut lahan. Metode ini dapat memberikan hasil yang lebih objektif dan dapat direproduksi. Teknik pembobotan dan skoring digunakan untuk mengintegrasikan berbagai parameter evaluasi menjadi indeks kesesuaian lahan yang komprehensif.
Penggunaan teknologi remote sensing dan GIS sangat membantu dalam evaluasi kesesuaian lahan skala luas. Citra satelit dapat digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik lahan seperti tutupan lahan, pola drainase, dan kondisi vegetasi. Data digital elevation model (DEM) dapat digunakan untuk analisis topografi dan lereng. Integrasi berbagai data spasial dalam sistem GIS memungkinkan analisis yang lebih efisien dan akurat.
3) Aplikasi Uji Kesesuaian Lahan dalam Berbagai Sektor
Dalam sektor pertanian, uji kesesuaian lahan digunakan untuk menentukan jenis tanaman yang paling cocok untuk suatu areal, intensitas budidaya yang optimal, dan teknik konservasi tanah yang diperlukan. Evaluasi ini mempertimbangkan kebutuhan agroklimat setiap tanaman, karakteristik tanah yang diperlukan, dan potensi hasil yang dapat dicapai.
Untuk pengembangan permukiman, uji kesesuaian lahan mengevaluasi faktor keamanan dari bencana alam, kemudahan pembangunan infrastruktur, ketersediaan air bersih, dan dampak terhadap lingkungan. Evaluasi ini juga mempertimbangkan aspek sosial seperti kesesuaian dengan pola kehidupan masyarakat setempat dan potensi konflik penggunaan lahan.
Dalam pengembangan industri, uji kesesuaian lahan mempertimbangkan kebutuhan lahan yang luas, akses transportasi, ketersediaan utilitas, dan dampak lingkungan. Khusus untuk industri yang menghasilkan limbah berbahaya, evaluasi harus sangat ketat terhadap potensi pencemaran air tanah dan dampak terhadap ekosistem sekitar.