Mohon tunggu...
Arief Setiawan
Arief Setiawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

pecinta kegilaan http://arieflmj.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pak Jokowi, Tengoklah Gus Dur

12 Mei 2016   15:59 Diperbarui: 12 Mei 2016   18:06 2370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - politik menjual ketakutan. (KOMPAS/JITET)

Hantu komunisme berpotensi bangkit. Itulah wacana yang saat ini sedang dibangun oleh penguasa. Orang-orang yang mengenakan segala atribut yang mengandung unsur komunis (palu-arit) ditangkap. Bahkan, lambang komunitas pecinta kopi pun juga jadi sasaran. Barangkali, palu untuk memaku dan arit buat potong rumput yang kita simpan di rumah perlu juga untuk disembunyikan. Kalau perlu, dikubur di halaman rumah karena keduanya mengandung unsur lambang komunisme, palu dan arit.

Berbagai buku tentang pemikiran Karl Marx, Lenin, dan tokoh-tokoh komunis lainnya sedang dicari aparat keamanan untuk disita. Buku tentang sejarah gerakan komunis di Indonesia atau segala sesuatu terkait Partai Komunis Indonesia juga alami hal serupa. Tak ketinggalan pula buku yang halaman depannya bergambar palu-arit juga jadi sasaran penyitaan. Untuk itu, bersegeralah membeli buku-buku tersebut sebelum hilang dari peredaran. Anggap saja investasi karena siapa tahu harganya bakal selangit di kemudian hari karena langka dan tak diproduksi lagi.

Apa yang terjadi saat ini jelas sebagai kemunduran. Sangat aneh dan kesan dibuat-buat kentara sekali. Logika paling sederhana bakal gagal paham dengan fenomena ini. Buku-buku yang disita banyak yang terbit pada dekade 2000-an. Setidaknya, diterbitkan paling akhir pada 2015. Lha, selama buku-buku tersebut bebas menghiasi rak-rak toko buku di seantero negeri. Aparat kemanan dan pertahanan ke mana saja selama ini? Ngumpet? Atau sedang mencari weton terlebih dulu untuk melancarkan aksi penyitaan. Sudahlah, kalau dipikir bisa jadi ikutan gagal paham kelak.

Aksi penyitaan buku-buku kiri, patut diduga, sebagai manifestasi dari phobia saja. Namun, paling kuat dugaannya, hanya sekedar pertunjukan kekuasaan belaka. Lebih dramatis lagi, bisa dinilai untuk membungkam tuntutan keadilan bagi korban kejahatan negara. Silakan pembaca menerka sendiri alasan paling cocok untuk melihat fenomena ini. Kira-kira alasan apa yang paling tepat untuk menjawabnya.

Apa yang terjadi saat ini sangat kontras dengan kebijakan Gus Dur kala jadi presiden. Gus Dur secara terbuka mengusulkan pencabutan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966. Usulan tersebut memancing pro dan kontra. Gus Dur tetaplah Gus Dur. Beliau tetap bersikukuh, pelarangan sebuah pemikiran merupakan tindakan anti-demokrasi. Sekeras apapun kritik terhadap usulan tersebut, Gus Dur tetap pada pendiriannya. Pemenjaraan pikiran sudah ketinggalan zaman dan bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Pemikiran Gus Dur tentang pencabutan TAP MPRS tersebut bisa dilacak dari pendapatnya sejak dulu. Pada 1982, Gus Dur menulis artikel berjudul Pandangan Islam tentang Marxisme-Leninisme di Majalah Persepsi. Tulisan tersebut mencoba membuka cakrawala bagaimana cara memahami marxisme-leninisme dalam konteks Islam. Tak ada kebencian dan antipati didalamnya. Kritiknya mengucur deras dengan terus mencoba menggali sisi ekletik dari paham terlarang di Indonesia ini. Bukan asal pokoknya!

Jika dibandingkan dengan fenomena apa yang saat ini tengah berlangsung, Pemerintahan Jokowi mengambil arah sebaliknya. Apa yang terjadi saat ini sangat sulit untuk dipahami dengan akal sehat, terutama kasus penyitaan buku-buku yang dinilai mengandung unsur marxisme-leninisme. Buku-buku yang disita tersebut sudah ada sejak lama, bahkan ada yang sudah diterbitkan sebelum Jokowi menjadi Walikota Solo. Aneh sekali jika buku-buku tersebut baru diributkan saat ini. Saya menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca tentang kepentingan apa yang melatar-belakanginya.

Presiden Jokowi hendaknya sejenak bertegur-sapa dengan Gus Dur terkait hal ini. Berbincang tentang bagaimana seharusnya demokrasi dijalankan tanpa ada pemenjaraan pikiran atau pelarangan berpikir. Berbincang tentang bagaimana membangun demokrasi di Indonesia tanpa ada represi meski memunyai perbedaan pendapat yang sangat tajam. Jika tak berkenan, bisa juga membaca kembali Panca Azimat Revolusi Bung Karno yang didalamnya mengandung Pancasila, Nasakom, Manipol USDEK, Trisakti, dan Berdikari. Slogan ini kan (trisakti) yang dipakai ketika kampanye pilpres kemarin?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun