Mohon tunggu...
Ari Budiyanti
Ari Budiyanti Mohon Tunggu... Guru - Lehrerin

Sudah menulis 2.780 artikel berbagai kategori (Fiksiana yang terbanyak) hingga 24-04-2024 dengan 2.172 highlight, 17 headline, dan 106.868 poin. Menulis di Kompasiana sejak 1 Desember 2018. Nomine Best in Fiction 2023. Masuk Kategori Kompasianer Teraktif di Kaleidoskop Kompasiana selama 4 periode: 2019, 2020, 2021, dan 2022. Salah satu tulisan masuk kategori Artikel Pilihan Terfavorit 2023. Salam literasi 💖 Just love writing 💖

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bukan Ku Berniat Lupa, Maaf

8 November 2019   20:07 Diperbarui: 13 Maret 2020   19:55 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senja di kota Klampok. Photo by Deasi Setianingsih

Riri menatap buku di tangannya. Kenapa sih Gilang pengen sekali baca buku ini. Masih banyak buku-buku fiksi lainnya yang bagus kisahnya. Namun kenapa milih buku ini. Memang sih kisahnya menarik, lucu dan sarat dengan kehangatan kasih keluarga dengan berbagai pergolakan batin tiap anggota keluarganya. 

Sementara itu di kantor Gang masih berkutat dengan pekerjaannya. Sampai dia lupa waktu pulang. Jam menunjukkan pukul 8 malam. Segeralah dia bersiap pulang. Sebuah pesan masuk di HPnya.

"Gilang, aku belum tahu kapan bisa bertemu lagi denganmu. Besok sampai minghu depan, sekitar satu bulan ke depan, aku harus menyelesaikan banyak pekerjaan di kantor. Bagaimana dengan buku ini? Tadi aku membawanya ke cafe."

Pesan dari Riri. Gilang terdiam. Iya, kenapa aku bisa lupa janjian dengan Riri ya. Pekerjaan yang tiba-tiba menumpuk diberikan oleh ketua tum, membuatnya fokus bekerja sampai lupa hal lainnya. Selama ini Riri selalu ingat datang bertemu dengannya di cafe, tapi selalu lupa baw abuku pesanannya. 

Apa benar, saat pekerjaan sangat banyak akan membuat kita menjadi pelupa. Bukankah tadi dia juga lupa sama sekali sampai 1 jam lewat baru mengabari Riri. Bahkan Riri tidak protes sama sekali, apalagi marah. 

Riri memang tidak pernah banyak menceritakan pekerjaannya di kantor. Gilang hanya tahu kalau Riri mengerjakan bagian adkinistrasi. Sesekali saja Riri memasang foto-foto dalam aneka seminar. 

"Kau tidur jam berapa biasanya? Aku ambil ke rumahmu ya sekarang. Aku butuh sekali buku itu. Kalau menunggu sampai satu bulan ke depan, terlalu lama" jawab Gilang dalam pesan singkatnya. Tidak juga ada jawaban.

Gilang akhirnya memutuskan menemui Riri di rumahnya. Lama sekali Gilang tak pernah mengunjungi Riri. Meski mereka bersahabat, Riri jarang mau menerima Gilang di rumahnya. Riri selalu ada saja alasan menolak jika Gilang akan mengunjunginya atau mengambil buku itu di rumahnya. 

Gilang masih ingat rumah Riri. Sesampainya di halaman depan, Gilang mengecek HPnya. Masih belum ada balasan. Gilang turun dari sepeda motornya. Berjalan menuju pintu yang tertutup. Diketuknya pintu itu, beberapa kali. Tak juga ada yang membuka. 

Sampai akhirnya, pintu dibuka. "Gilang..?" Ada pekik tertahan dari Riri, melihat Gilang ada di depan rumahnya. "Kenapa tak bilang kalau mau datang?" Wajah Riri nampak lelah sekali, dan kaget. "Kenapa? Aku sudah bilang, lihat saja di HPmu." Kata Gilang. 

Terdengar suara anak kecil dari dalam rumah. Gilang kaget. Seingatnya, Riri ini belum menikah, dia hanya tinggal bersama ibunya. Tapi kenapa ada suara anak kecil. "Dia siapa?" Tanya Gilang ketika melihat seorang anak perempuan berlari keluar dari dalam  rumah menuju Riri dan memeluknya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun