Pantai Pangandaran, terletak di pesisir selatan Jawa Barat, dikenal sebagai magnet wisata utama dengan bentang alam yang menawan dan aktivitas bahari yang menggoda. Di balik hiruk pikuk wisatawan, pantai ini menyimpan berbagai risiko yang kerap luput dari perhatian. Mulai dari potensi bencana alam hingga ancaman ekologis dan keselamatan pengunjung, semua berpadu menjadi tantangan serius bagi keberlanjutan kawasan ini sebagai destinasi wisata unggulan.
Rip Current dan Morfologi Pantai
 Salah satu risiko dominan di Pantai Pangandaran adalah arus balik atau rip current. Riset dari Muntasiba et al. (2018) menunjukkan bahwa rip current menjadi penyebab utama insiden tenggelam, terutama di Pantai Barat yang ramai untuk aktivitas berenang. Tipe pantai longshore bar and trough yang dimiliki Pangandaran secara morfologis memang rawan memicu arus kuat yang menyeret ke tengah laut (Dikara et al., 2022). Kurangnya pemahaman pengunjung dan minimnya rambu peringatan memperburuk situasi.
Risiko Bencana Alam
Tsunami dan Kelerengan Pantai Pangandaran memiliki sejarah kelam dengan tsunami 2006 yang menewaskan lebih dari 60 orang. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia serta kelerengan pantai yang rendah (0%--4,59%) menjadikan kawasan ini sangat rentan terhadap terjangan tsunami (Patandianan et al., 2023). Sayangnya, kesadaran evakuasi dini dan infrastruktur mitigasi masih belum memadai, meskipun risiko gempa megathrust masih mengancam.
Bahaya Biologis
Organisme Laut Berbahaya Tak hanya dari faktor alam, bahaya biologis juga mengintai pengunjung. Studi Muntasiba et al. (2018) mencatat keberadaan ubur-ubur, bulu babi, hingga ikan berbisa seperti lionfish dan stonefish di perairan sekitar. Interaksi yang tidak disengaja dapat menyebabkan luka serius hingga reaksi berbahaya.
Manajemen Risiko yang Belum Optimal
Hasil penilaian kuantitatif risiko oleh Dikara et al. (2022) menggolongkan kawasan ini dalam kategori risiko tinggi, bahkan "multiple fatalities" di musim low season. Penyebab utamanya adalah jumlah lifeguard yang tidak memadai, rambu peringatan yang terbatas, dan rendahnya penggunaan jaket pelampung. Kondisi ini mengindikasikan belum optimalnya penerapan standar keselamatan wisata berbasis SNI ISO 31000.
Tumpang Tindih Aktivitas Wisata dan Kerusakan Ekologis
 Aktivitas wisata di Pantai Timur dan Pasir Putih juga menimbulkan degradasi lingkungan. Penggunaan wahana air dan snorkling di zona sensitif seperti Cagar Alam Laut Pananjung berpotensi merusak terumbu karang dan ekosistem pesisir jika tidak diawasi ketat (Muntasiba et al., 2018).
Menuju Pangandaran yang Lebih Aman dan Berkelanjutan Keselamatan pengunjung seharusnya menjadi garda depan dalam pengelolaan wisata pantai. Langkah strategis meliputi pemetaan zona bahaya, edukasi pengunjung tentang risiko rip current dan tsunami, serta penempatan lifeguard bersertifikat secara merata. Diperlukan pula kolaborasi antara pemerintah daerah, pengelola wisata, dan masyarakat lokal untuk menegakkan peraturan lingkungan dan meningkatkan kesiapsiagaan bencana.
Pantai Pangandaran bukan hanya tentang keindahan dan atraksi wisata. Di balik pesonanya, tersimpan risiko-risiko serius yang membutuhkan manajemen terpadu dan perhatian kolektif. Tanpa langkah nyata dalam mitigasi, keselamatan dan keberlanjutan destinasi ini akan terus terancam.
Daftar Pustaka:
Dikara, R., Taofiqurohman, A., & Iskandar. (2022). Penilaian Kuantitatif Risiko Wisata di Kawasan Wisata Pantai Pangandaran. Buletin Oseanografi Marina, 11(1), 77--85.
Muntasiba, E. H., Ulfaha, M. M., Samosir, A., & Meilania, R. (2018). Potensi Bahaya bagi Keselamatan Pengunjung di Kawasan Wisata Pantai Pangandaran. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 8(1), 15--25.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!