Mohon tunggu...
Dadan Andana
Dadan Andana Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Praktisi Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Warung Mih Ntit

1 Februari 2020   11:42 Diperbarui: 1 Februari 2020   11:45 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rejeki itu adalah semua potensi ekonomi, potensi material, potensi terpendam yang terus menuntut penggalian seumpama penggalian sumur tanah sampai tanahnya basah terangkat ke atas dan airnya berlimpah. Pun adalah kompetensi berpikir, bergerak, merasa, dan memanfaatkannya sebagai sebuah karya. 

Sayang, tak jarang kita mendengar, "Gaji suamiku kecil, belum lagi bayar kuliah dan biaya hidup anak-anak di kota. Belum bekal harian adik-adik yang masih sekolah plus makan, pangan, papan rumah yang usuknya mulai bengkung, lelangitnya bolong ditimpa kucing bercinta atau kelahi Belum lagi kreditan barang konsumtif."

Beberapa hari ini, suara itu selalu datang dari rerimbun rumah bambu di tepi jalan berkoral. Beberapa ayam terlihat asyik mengais rejeki di tanah yang masih perawan tanpa timbunan semen betonan.

Maka berlarilah aku pada suara perempuan rumahan itu. Ditemuilah lingkup dapur dan usaha rumahan. Benerapa tumpukan plastik bekas kemasan minuman diikatnya rapi pada karung putih polet biru. 

Di atas meja kayu tua terpasang televisi tua 14 inchi menyaji berita. Aku saksikan kabar wacana award perusahaan-perusahaan besar yang dirintis atas peran perempuan. Sambil sedikit sungging, aku ingat ibu pernah bertuah. 

"Jangan remehkan sambel yang sering Ibu buat. Kali saja bisa jadi Ibu punya restoran, atau kamu tergila-gila dengan sambel buatan istrimu kelak." 

Secepat bayang kilat, aku ingat pada Tuan Abdullah yang tergila-gila gegara sambal oncom goreng perempuan di warung pinggir jalan raya desaku di seberang sungai.

"Dyang, coba cicipi sambal oncom goreng buatan Emih," suatu saat, senin sore ketika aku nongkrong main catur di warung Mih Ntit yang asri.
Aku mencoba mengambil timun kecil yang tersaji di piring anyaman plastik. "Dicoelkan" pada secowet batu besar di meja kayu depan televisi.

"Hmm, manjlebs, Mih. Pantas Pak Haji Engko tergila-gila."
"Ah, kau bisa saja."
"Iya Mih, mana tahan jika sehari saja dia tak menyantap sambal Mih."
"Yang terpenting, seorang perempuan jangan sampai banyak keluhan. Perempuan adalah manusia super. Tak lupa berdoa dan memanjatkan syukur sebesar-besarnya.

 Apabila manusia mensyukuri nikmat-Nya, dengan sendirinya Allah akan menambah nikmat tersebut," ujar Mih Ntit, janda ditinggal mati suaminya yang lima tahun ke belakang meregang nyawa disambar petir di lahan sawahnya.

"Skak!" ujar Alif mengejutkan jantungku.
"Ow, tenang masih ada mantri," ujar Dyang.
"Hmm, Mih, serasa mendengar ceramah ustadzah Ulfah," canda Alif menyahut ujaran Mih Ntit.
"Lah, Nak Alif bisa saja. Mau tambah kopinya?"
"Cukup, Mih," jawab Alif.
"Alhamdulillah, meski warung kecil-kecilan seperti ini, Nak Alif sama Dyang masih mau singgah menemani Mih."
"Ya, Mih. Kita sedang belajar memahami peran perempuan yang dikaruniai Sang Mahacahaya dengan sifat rahim-Nya. Di sini di tempat Mih, kami menemukan cahaya," ujar Alif.
"Ya Allah, semoga kalian kerasan singgah di warung Mih." lanjut Mih Ntit

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun