Adanya perpustakaan sekolah sejak saya masih duduk di sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas hingga kini terus diperhatikan pemerintah.
Sejak masa awal tahun 70an, bukan hanya pengadaan buku pelajaran yang disediakan tetapi juga buku-buku penambah pengetahuan.
Memasuki tahun 90an, hampir semua sekolah memiliki rak buku dan ruang perpustakaan tersendiri. Pada tahun-tahun sebelumnya rak buku ditaruh di ruang tata usaha bahkan ruang kepala sekolah.
Sejak adanya dana Bantuan Operasional Sekolah keberadaan perpustakaan semakin lengkap dengan tersedianya buku fiksi dan non fiksi dengan jumlah yang sebanding sesuai dengan kebutuhan tingkat sekolah.
Hal yang tetap perlu diperhatikan luas ruang perpustakaan dan ruang baca masih terbatas. Demikian juga keadaan rak buku belum sesuai dengan kebutuhan siswa. Masih ada rak buku yang tingginya diluar jangkauan siswa. Terutama siswa sekolah dasar. Sehingga kesulitan untuk memilih dan mengambil buku sesuai dengan keinginan siswa.
Hal lain, ketersediaan tenaga pustakawan yang masih terbatas juga menjadi kendala untuk melayani siswa. Masih banyak guru bidang studi atau guru mata pelajaran terutama guru olahraga dan guru agama yang merangkap menjadi tenaga pustakawan.
Keterbatasan tenaga pustakawan juga berpengaruh pada pemilihan atau seleksi buku-buku yang sesuai dengan usia siswa.
Pengaruh budaya luar lewat bacaan buku-buku fiksi terutama komik-komik, majalah, dan novel banyak tersisip diksi-diksi dan gambar-gambar yang tidak tepat. Bukan hanya pada bacaan siswa-siswi sekolah lanjutan tetapi juga tingkat sekolah dasar.
Di sinilah peran guru harus berani dan mau menemani pustakawan menjadi penyeleksi pemilihan buku-buku yang dapat memperkaya khasanah dan pengetahuan siswa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI