Ada juga sekolah yang mempunyai tim sepakbola bagus tetapi jika diajak ikut kompetisi dengan sekolah-sekolah yang mengandalkan otot mereka enggan. Mereka lebih senang mengadakan kompetisi dengan sekolah selevel. Misalnya sekolah dengan latar belakang orangtua dari golongan kelas menengah dan atas atau ekspatriat.
Salah satu guru seperti ini adalah penulis sendiri yang lebih suka mengirim berkompetisi dalam pertandingan bulutangkis, bolabasket, catur atau lomba renang dan atletik yang menjadi spesialis penulis.
Di sisi lain bibit pemain sepakbola dari kaum pinggiran dari kampung dan desa sering terkendala tidak bisa ikut SSB atau sekolah sepakbola dengan alasan beaya. Inilah alasan ekonomi sehingga bibit-bibit ini tidak terbentuk dengan fisik yang tangguh karena faktor gizi yang kurang terjamin.
Ketrampilan atau skill yang cukup bagus akhirnya terkendala fisik yang kurang tangguh untuk bermain selama 60 menit dalam sepakbola mini. Ketika tenaga sudah habis dan nafas yang ngos-ngosan maka emosi terganggu dengan main kasar.
Sekolah umum bukan untuk mencetak atlit. Porseni dan O2SN hanya untuk sarana mencari bakat dan minat anak dan menyalurkannya dalam kompetisi yang berbobot dan selanjutnya diserahkan pada orangtua untuk mengembangkan lewat klub-klub olahraga.
Terakhir inilah yang harus diperhatikan pengurus daerah PSSI dan KONI.