Tiga puluh delapan tahun menjadi guru olahraga SD dan beberapa kali menjadi wasit gala desa mempunyai banyak pengalaman mengikutsertakan siswa dalam pertandingan sepakbola mini pada keagiatan Porseni dan O2SN.
Sekolah sebagai komunitas pendidikan dan bukan pencetak atlit tentu tidak mudah mencari bibit pemain dari aneka latar belakang siswa. Maka tim yang dibentuk lebih banyak dari gabungan beberapa sekolah dalam satu kepenilikan lalu dipertandingkan pada satu kecamatan. Juara antar kecamatan inilah yang diikutsertakan pada Porseni di tingkat kota.
Di tingkat provinsi, belum tentu diadakan pertandingan sepakbola mini. Alasannya, tim sepakbola merupakan tim dengan jumlah anggota yang banyak tentu membutuhkan dana yang lebih besar. Permainan sepakbola memerlukan waktu yang lama sekali pun menggunakan sistem gugur.
Bukankah sepakbola merupakan olahraga yang digemari dan banyak dilakukan oleh masyarakat tapi mengapa sulit mencari bibit?
Di halaman rumah yang cukup luas lapangan kecil di perkampungan, jalanan sepi di tengah kota, bahkan di alun-alun sering terlihat anak-anak, remaja, dan pemuda bermain sepakbola. Jika diamati beberapa di antara mereka ada yang mempunyai skill bagus dan kerjasama dengan tim yang baik.
Kenyataan saat dipilih untuk mewakili sekolah banyak orangtua yang keberatan dengan berbagai alasan. Di antaranya tidak mau cidera melihat permainan olahraga keras dan cenderung kasar karena kurangnya pemolesan secara profesional.
Kondisi seperti ini banyak ditemukan pada orangtua yang lebih mengutamakan bidang akademis atau olahraga yang jauh dari benturan fisik seperti atletik, renang, dan catur.
Orangtua seperti ini di antaranya penulis sendiri, sekali pun si tengah pernah menjadi kiper terbaik untuk kelompok putri tingkat SMA dan dilatih oleh pelatih mantan pemain nasional, toh bila diminta mewakili sekolah yang bau gurunyak ekspatriatnya dan bertanding dengan tim sekolah umum berpikir seribu kali.Â